FGD Dengan Tema Orang Dengan Gangguan Jiwa Dapat Dipidana
Berdasarkan
penjelasan dari Dr. Segar Handoyo, Psikologi dan Ketua HIMPSI mengatakan bahwa
perlu diketahui antara Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dengan Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) berbeda. Orang yang memiliki kekhawatiran, kecemasan,
disebut ODMK, orang dengan masalah kejiwaan ini masih dapat beraktivitas
sehari-hari secara normal namun mengalami perasaan tidak nyaman. Atau orang
awam sering menyebutnya dengan mengalami luka batin. Bila sudah mempengaruhi
aktivitas sehari-hari maka artinya seseorang sudah memiliki gangguan jiwa. Ini
artinya orang tersebut membutuhkan pengobatan yang lebih lanjut. Status orang
ini sudah meningkat dari ODMK menjadi ODGJ.
1. Pertanggungjawaban
Pidana Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia
Berdasarkan hukum pidana Indonesia,
dalam mempertanggungjawabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan tindak
pidana (melawan hukum), maka harus terpenuhinya beberapa unsur sebagai berikut:
a. Kemampuan
Bertanggungjawab Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggngjawab.
Yang berhubungan dengan hal tersebut ialah Pasal 44 KUHP: “Barangsiapa yang
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena
jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwanya terganggu karena penyakit berubah
akal tidak boleh dihukum”.
- Kemampuan
untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan
lawan hukum.
- Kemampuan
untuk menetukan kehendaknya menurut keinsyafan seseorang baik buruknya
tadi.
- Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Orang Yang Mengalami
Gangguan Jiwa
Orang yang mengalami gangguan jiwa dan
yang melakukan tindak pidana tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana
sebab pada KUHP lain, sesuai bunyi
Pasal 44 ayat (1) KUHP adalah “Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang
tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.” Dan pada KUHP terjemahan Andi
Hamzah, bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP adalah “Barangsiapa melakukan perbuatan
yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya yang cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
- Apakah
Seorang yang Gila Bisa Dipidana?
Tidak semudah yang
dibayangkan menghukum seseorang, terdapat parameter yuridis yang harus dipenuhi
oleh hakim. Unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan harus diyakini sempurna
terpenuhi. Ilmu hukum pidana mengenal istilah strafbaar feit yang artinya “perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang, yang diancam dengan hukuman”. Jadi perbuatan
yang dapat dihukum harus terkatagori sebagai strafbaar feit, karena tidak semua
perbuatan dapat dipidana. Perumusan Strafbaar feit menurut Simons, Strafbaar
feit itu harus merupakan:
-
Perbuatan manusia;
-
Perbuatan itu adalah
“wederrechtelijke” (bertentangan dengan hukum);
-
Perbuatan itu dilakukan
oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan (toerekeningsvatbaar);
-
Dan orang itu dapat
dipersalahkan.
Dari unsur di atas, yang dibahas kali
ini mengenai “perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar)” yang berkaitan dengan kondisi jiwa
atau psikis pelaku yang dalam istilah Belanda disebut dengan
toerekeningsvatbaarheid.
Dalam ilmu hukum pidana
dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
a. Alasan pembenar berarti alasan yang
menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar
dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan
nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50
KUHP);
b. Alasan pemaaf adalah alasan yang
menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya
tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi
orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila
sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Mengenai alasan pemaaf dapat dilihat
dari bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP: “Tiada dapat dipidana barangsiapa
mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,
sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.” Kemudian, Pasal 44 ayat
(2) KUHP berbunyi: “Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah
hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu
tahun untuk diperiksa.”
Persoalan kondisi jiwa
pelaku pada saat melakukan perbuatan pidana menjadi sangat penting untuk dikaji
dan diuji di persidangan. Untuk itu dituntut pembuktian kondisi jiwa yang sakit
atau sehat dengan sebenarnya sebelum dijatuhi hukuman. Tidak terpenuhinya
kondisi jiwa yang sehat maka pelaku tidak dapat dihukum meskipun semua unsur
pidana telah terpenuhi. Pengidap gangguan jiwa atau Orang gila atau sakit jiwa
tidak dapat dikatakan menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah
perbuatan yang dilarang, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun tata susila.
Dari sisi pro tindakan ODGJ seperti pembunuhan merupakan
perbuatan melawan hukum, sehingga perlu untuk memperhatikan hak-hak dari korban
tindakan ODGJ ini, setiap orang berhak atas rasa aman sehingga apabila tindakan
ODGJ telah dikategorikan menganggu rasa aman, penjatuhan pidana bisa
diterapkan. Dalam hal ini pun bukan langsung dipidana tentu akan dilihat
terlebih dahulu apakah dia benar-benar ODGJ yang tidak bisa membedakan benar
atau tidaknya tindakan yang dilakukan, atau karena stress, dan apabila sudah
ditemukan penyebabnya barulah dapat dilakukan penindakan.
Dari sisi kontra Perbuatan ODGJ tidak bisa dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum, dengan
dipidanakannya mereka tidak akan menimbulkan efek jera karena mereka
tidak mengerti apakah arti dari pemidanaan yang ditimpakan padanya, dlm pasal
44 KUHP dikenal yang namanya alasan pemaaf salah satunya adalah mengenai orng
gila.
Kesimpulan :
Tidak ada yang ingin terlahir dengan menjadi orang
dengan gangguan jiwa, keterbatasan pada saraf otak. Pro dan kontra apabila kita
berbicara mengenai ODGJ dapat dipidana keduanya punya sentuhan langsung dgn
HAM. Sehingga KUHP berdiri sebagai aturan ttg pemidanaan, bukan sebagai kitab suci yg tidak bisa diubah. Kapan pun apabila
para pihak menginginkan, dan tuntutan keadaan mengharuskan adanya perubahan
maka hukum sebagai produk kesepakatan masyarakat juga harus memberi ruang untuk
dilakukan perubahan
References
Anggita, K. (2020, Mei 14). Perbedaan Orang dengan Masalah
Jiwa dan Orang dengan Gangguan Jiwa. Retrieved from medkom.id:
https://m.medcom.id/rona/kesehatan/GbmYM5Lb-perbedaan-orang-dengan-masalah-jiwa-dan-orang-dengan-gangguan-jiwa
litigasi. (2019, Januari 25). Hukum Pidana Memandang
Penderita Sakit Jiwa. Retrieved from litigasi.co.id:
https://litigasi.co.id/hukum-pidana/331/hukum-pidana-memandang-penderita-sakit-jiwa
Pramesti, S.H., T. J. (2013, April 17). Apakah Seorang
yang Gila Bisa Dipidana. Retrieved from Hukum Online.com:
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang-gila-bisa-dipidana/
Shahab, I. F. (2018, Februari 16). Reza Indragiri Amriel:
Gangguan Kejiwaan dan Pasal 44 KUHP. Retrieved from Tempo.co:
https://hukum.tempo.co/amp/1061543/reza-indragiri-amriel-gangguan-kejiwaan-dan-pasal-44-kuhp
Sinaga, Bob Steven;. (2016). PROSES HUKUM BAGI PELAKU YANG
MENGALAMI GANGGUAN KEJIWAAN BERDASARKAN PASAL 44 KITAB UNDANG UNDANG HUKUM
PIDANA. 7-11.
0 Komentar