Ad Code

GIZI UNTUK NEGERI, BUKAN UNTUK KOTA SAJA : Saat Anak di Wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) Masih Menunggu Giliran

Oleh: Mochmmad Alief Yasa Pradana 

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang awalnya merupakan sebuah janji Politik pada penyelenggaraan Pilpres Tahun 2024 kemarin yang digaungkan oleh pak Prabowo Subianto ternyata bukan hanya sekedar omon-omon belaka, program ini benar-benar dijalankan pada masa kepemimpinannya dimulai. Program Makan Bergizi Gratis sendiri mulai dilaksanakan secara resmi oleh pemerintah pada tanggal 6 Januari 2025, dengan tahap awal pelaksanaannya dijalankan secara bertahap di 190 titik yang tersebar di 26 Provinsi di Indonesia. 

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto adalah langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan kualitas anak bangsa melalui pemenuhan gizi. Melalui program ini diharapkan dapat memutus tingkat stunting, meningkatkan konsentrasi belajar dan memperkuat anak-anak bangsa melalui pemenuhan Gizi. Namun, ditengah semangat Prabowo Subianto yang terkesan menggebu-gebu, penulis menemukan bahwa program MBG ini memiliki banyak masalah dalam tata-kelola pendistribusiannya terhadap daerah-daerah yang ada di Indonesia, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan MBG masih lebih mudah dijalankan di wilayah perkotaan atau di daerah yang fasilitas infrastrukturnya memadai, seperti contohnya pelaksanaan MBG yang dicanangkan akan dilaksanakan untuk Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Al-Izzah, Tangerang yang merupakan salah satu sekolah swasta yang bisa dibilang anak-anak yang bersekolah di sekolah tersebut termasuk anak-anak yang kuat secara finansial, yang kemudian ditolak oleh salah satu wali murid yang menolak mentah-mentah untuk dilakukannya pengadaan MBG di sekolah tersebut, karena program ini sudah seharusnya ditujukan untuk anak-anak dalam kelompok wilayah yang rentan seperti halnya anak-anak di wilayah 3T. Contoh tersebut seharusnya menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa “anak-anak yang bersekolah di wilayah 3T-lah yang seharusnya didahulukan untuk mendapatkan MBG”. Di waktu yang bersamaan anak-anak di wilayah 3T mungkin sedang menunggu gilirannya. 

Hal ini memang sudah sepatutnya yang menjadi prioritas adalah anak-anak di wilayah 3T, sementara pada kenyataannya anak-anak di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) justru yang masih menunggu giliran untuk merasakan Program Makan Bergizi Gratis, banyak sekali sekolah di wilayah 3T yang justru belum “tersentuh” secara optimal oleh program Makan Bergizi Gratis ini, padahal mereka-lah yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam upaya pemenuhan gizi nasional oleh pemerintah, karena anak-anak yang tinggal di wilayah 3T inilah yang paling rentan terhadap masalah gizi buruk serta keterbatasan akses terhadap pangan. Kondisi geografis yang sulit dijangkau, keterbatasan sarana transportasi, serta rendahnya fasilitas pendidikan menjadi penghambat utama dalam penyaluran MBG secara merata. Ketimpangan ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang serius, seriu mengenai apakah keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia yang terkandung di dalam Pancasila, sila ke-5 benar-benar terwujud di dalam program ini? tentu jawabannya adalah tidak. Penulis mengajak pembaca untuk terlibat aktif dalam upaya mengkritisi program-program kerja pemerintah yang sebenarnya tidak bisa “dipaksakan” hanya karena ingin terlibat “hebat” oleh rakyatnya sendiri. Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa pemerataan belum sepenuhnya menjadi prioritas dalam pelaksanaan MBG, yang jika tidak segera ditangani, kesenjangan Gizi antara anak Kota dan anak di pelosok di Negeri ini akan semakin melebar. 

Pelaksanaan program MBG di berbagai daerah menunjukkan hasil yang beragam. Di wilayah perkotaan, program ini relatif berjalan dengan lancar yang tentunya berkat dengan adanya dukungan infrastruktur yang memadai, ketersedian bahan pangan, dan koordinasi antar instansi yang baik. Sementara itu, di wilayah 3T, tantangan besar muncul dari berbagai aspek. Pertama, akses transportasi dan infrastruktur yang menjadi penghambat utama. Banyak sekolah di daerah terpencil yang sulit dijangkau karena kondisi jalan yang rusak atau medan yang berat. Akibatnya, proses distribusi makanan sering terlambat, seperti halnya yang terjadi di Lampung pada Januari 2025, yang di mana masalah ini ditemukan oleh anggota DPRD komisi IV Lampung yang menemukan bahwa kondisi jalan yang digunakan dalam pendistribusian MBG ini yang melewati jalan provinsi antara Kelurahan Bangunrejo dan Kalirejo, Kecamatan Lampung tengah yang rusak Jalannya, sehingga menjadi penghambat dalam pendistribusian MBG di daerah tersebut. Yang kedua, adanya keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas juga yang menjadi kendala, yang di mana tidak semua daerah memiliki SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) dan tenaga khusus untuk menyiapkan makanan bergizi yang telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan baik. Yang ketiga adalah pengawasan dan transparansi pelaksanaan program yang masih lemah. Dalam beberapa kasus ditemukan ketidaksesuaian antara menu makanan di dalam program ini dengan realitasnya di lapangan, yang dimana program ini bernama “Makan Bergizi Gratis” sudah seharusnya makanan yang disajikan juga merupakan makanan yang bergizi, akan tetapi makanan yang diterima oleh siswa tidak menunjukkan bahwa makanan tersebut merupakan makanan yang bergizi, contohnya seperti burger dan mie ayam. Hal ini tentu menimbulkan keraguan Publik terhadap efektivitas dan akuntabilitas pelaksanaan MBG ini. 

Kesimpulan 
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah langkah mulia dari pak Prabowo Subianto untuk meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia. Namun, keberhasilan program ini tidak hanya diukur hanya dari banyaknya anak yang menerima makanan saja, melainkan dari sejauh mana program ini adil dan merata yang menjangkau seluruh pelosok anak negeri. Penulis berpendapat, dan mungkin masyarakat umum pun sependapat bahwa anak-anak di wilayah 3T-lah yang seharusnya menjadi prioritas pertama untuk berhak mendapatkan Makan Bergizi Gratis ini, mereka berhak mendapatkan asupan gizi yang sama seperti anak-anak di kota. Mereka adalah bagian dari masa depan bangsa Indonesia juga yang harus tumbuh dengan sehat dan berdaya saing. Oleh karena itu, penulis memberikan saran bahwa pemerintah perlu mengkaji mengenai program MBG ini, agar program ini tidak “Salah sasaran” dan perlu ditegaskan kembali bahwa Program Makan Bergizi Gratis adalah hak seluruh anak bangsa, yang dimana gizi untuk negeri berarti gizi untuk semua anak Indonesia, tanpa terkecuali.

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu