Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Pentingkah Pengaturan Miras di Indonesia” pada hari Sabtu, 6 Maret 2021 dilakukan melalui daring yang dimana pada FGD kali ini di
moderatori oleh Aryanta Aji Saliro. Sebelum
dilakukan FGD tentunya para peserta telah terlebih dahulu membaca dan
menganalisis isu terkait yang dimana disini divisi Penelitian dan Pengembangan
(LITBANG) juga membantu memberikan literatur bacaan bagi para peserta.
Miras
adalah minuman yang mengandung alkohol, berbahaya jika dikonsumsi berlebihan,
menimbulkan stigma buruk dalam masyarakat. Miras digolongkan menjadi 3 golongan
:
1. Gol. A : kadar
1%-5%, contohnya bir
2. Gol. B : kadar
5%-20% contohnya anggur merek orangtua
3. Gol. C : kadar
29%-50% contohnya wiski, vodka
Berdasarkan
permen no.6/2015 pada pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) menyatakan bahwa yang
dapat mengkonsumsi miras hanya yang berusia diatas 21 tahun dengan terlebih
dahulu menunjukkan kartu identitasnya.
Menurut
pandangan dari tim yang sepakat bahwa pengaturan miras di Indonesia ini
mengatakan bahwa tidak semua orang legal dalam mengkonsumsi miras sehingga cenderung
lepas dari pengawasan, miras merupakan salah satu penyumbang terjadinya
tindakan kriminal, menimbulkan masalah kesehatan, menjaga ketertiban umum, dan tingginya
angka kriminalitas. Dan pada dasarnya miras ini boleh dilegalkan tapi harus ada
pembatasan yang ketat, serta hal ini sesuai dengan amanat konstitusi dan agama.
Namun,
tentu saja hal ini tidak dapat diterima begitu saja, karena berkaitan dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini merupakan negara yang plural. Seperti
halnya yang kita ketahui bahwa ada sebagian masyarakat adat yang mengkonsumsi
minuman keras dalam upacara yang berkaitan dengan adat, serta pada dasarnya
apabila minuman keras dilegalkan tidak serta merta membuat nama negara
Indonesia menjadi buruk.
Bisa
kita lihat pada negara Jerman dan Jepang memberlakukan sanksi kepada masyarakat
yang dibawah umur apabila diketahui mengkonsumsi minuman keras. Di Jerman
sendiri diatur bahwasanya miras tidak boleh dikonsumsi pada masyarakat yang
berumur 18 tahun kebawah. Sedangkan di negara Jepang menetapkan bahwa pemberian
sanksi dilakukan untuk usia 20 tahun kebawah.
Maka
dari itu didalam pembuatan peraturan tentang minuman keras haruslah menghormati
adat istiadat yang masih ada sampai saat ini yang merupakan aset kebudayaan
bangsa. Serta pemerintah harus mampu memperketat pengawasan dan pendistribusian
minuman keras ini. Jika penyeragaman aturan secara nasional sulit dilakukan dan
diberikan tolok ukur, maka dapat dikembalikan lagi kepada masing - masing
daerah untuk pengaturan dan pengawasannya.
0 Komentar