Pinangki merupakan mantan jaksa yang terseret dalam kasus korupsi dan pencucian uang pada Juli 2020. Pinangki terlibat perkara merima suap USD 500 ribu dari Djoko Tjandra yang merupakan buronan, kemudian pencucian uang senilai 444.900 dolar AS, hingga pemufakatan jahat menyuap pejabat Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Pinangki dinyatakan melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pinangki juga bersalah melakukan permufakatan jahat melanggar Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor. Selain itu, Pinangki melanggar pasal pencucian uang, yaitu Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan TPPU. Atas perbuatannya, Wakil Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: KEP-IV-041/B/WJA/07/2020 tanggal 29 Juli 2020 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin (PHD) Tingkat Berat, berupa Pembebasan dari Jabatan Struktural sebagaimana diatur dalam PP No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 7 ayat (4) huruf c. Pinangki kemudian ditangkap oleh tim penyidik Direktorat Penyidikan Jampidsus Kejagung pada 11 Agustus 2020. Setelah melalui proses persidangan, hakim memutuskan bahwa Pinangki terbukti bersalah. Hakim menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta kepada Pinangki. Vonis tersebut lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu penjara 4 tahun dan denda Ro 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Tak terima, Pinangki mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas vonis tersebut, akhirnya Pengadilan tinggi memotong vonis tersebut menjadi 4 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta. Pengurangan hukuman itu diputuskan karena hakim menilai Pinangki sudah mengakui dan menyesali perbuatannya dan menerima pemecatannya sebagai seorang jaksa. Kemudian pertimbangan lainnya karena Pinangki merupakan seorang ibu dari anak yang masih berusia 4 tahun sehingga diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya. Selain itu, hakim juga menganggap bahwa Pinangki harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil sebagai seorang perempuan.Selain itu, hakim juga menganggap bahwa Pinangki harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil sebagai seorang perempuan. Akhirnya, Pinangki mulai menjalani penahanan di Lapas Kelas IIA Tangerang setelah dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) pada Senin, 2 Agustus 2021.
Setelah menjalani masa tahanan kurang lebih 1 tahun satu bulan, pada 6 September 2022, Pinangki dibebaskan bersyarat. Hal ini karena ia sudah memenuhi persyaratan baik secara administratif maupun substantif. Nah,hal inilah yang menjadi persoalan dan pertanyaan bagi kita semua. Apakah putusan bebas bersyarat dalam kasus Jaksa Pinangki dapat diterima begitu saja?
Seperti yang diketahui, bahwa perkara korupsi termasuk pada Extraordinary Crime (Kejahatan Luar Biasa), tidak hanya itu, pelaku korupsi dalam kasus ini adalah seorang Jaksa yang berperan sebagai aparat penegak hukum. Melihat itu, bukankah seharusnya hukuman yang diajtuhi menjadi lebih tinggi daripada pelakunya oknum yang bukan dari penegak hukum?. Namun, pada kasus Pinangki ini, vonis yang awalnya 10 tahun justru dipangkas dengan berbagai macam pertimbangan, sehingga hanya 4 tahun. Ironisnya lagi, baru 1 tahun satu bulan dipenjara, ia sudah dibebaskan bersyarat. Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa jaksa yang menangani kasus ini tidak mengajukan kasasi untuk menolak masa hukuman yang hanya 4 tahun itu?
Jadi untuk menjawab pertanyaan ini, awalnya Jaksa memang hanya menuntut hukuman penjara 4 tahun dan denda Ro 500 juta subsider enam bulan kurungan. Hakim menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta kepada Pinangki. Namun, setelah Pinangki mengajukan banding, vonis tersebut dipangkas kembali menjadi sesuai dengan tuntutan Jaksa pada awalnya. Oleh karena itu, JPU tidak lagi melakukan kasasi terhadap putusan hukuman yang diajtuhi kepada Pinangki.
Sebelum melanjutkan pembahasan, mari kita pahami "Apa itu putusan bebas bersyarat?"
Berdasarkan pengertian dalam Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan. Pembebasan bersyarat harus bermanfaat bagi narapidana dan anak serta keluarganya dan diberikan dengan mempertimbangkan kepentingan pembinaan, keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat. Pengaturan mengenai persyaratan dan dokumen yang harus dilengkapi telah tertuang pada Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018. Jadi Putusan bebas bersyarat ini diatur pada Keputusan Menteri Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 Pasal 82.
Kembali pada kasus bebas bersyarat Pinangki, ia telah memenuhi syarat administratif dan substantif dari masa pidana untuk mengajukan bebas bersyarat. Kemudian salah satu alasan Pinangki bebas bersyarat karena telah menjalankan hak dan kewajibannya serta mentaati aturan yang ada selama di lapas. Mengenai permasalahan tindak pidana yang dilakukan adalah korupsi, hal tersebut juga telah diatur di dalam undang-undang yang mana salah satu kejahatan korupsi, putusan bebas bersyarat tetap dapat diajukan dengan beberapa tambahan persyaratan khusus tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, Pinangki dapat putusan bebas bersyarat karena persyaratan tersebut juga telah terpenuhi. Namun, yang menjadi persoalan lagi yaitu terkait mengapa Pinangki tetap dapat bebas bersyarat padahal persyaratanya belum mencapai 2/3 dari masa tahanan? Jawabannya, sudah mencapai. Hal ini karena adanya remisi yang diterima Pinangki selama masa tahanan dan juga karena ia sudah ditahan lebih dari 9 bulan.
Mengenai permasalahan bahwa kasus ini adalah kasus korupsi, secara yuridis, perundang-undangan yang mengatur putusan bebas bersyarat tersebut tidak mengatur adanya kejahatan yang dikecualikan. Sehingga untuk kasus korupsi ini tetap berlaku bahwa pembebasan bersyarat merupakan salah satu hak bersyarat yang diberikan kepada seluruh narapidana tanpa terkecuali dan nondiskriminasi. Sehingga, Pinangki tetap berhak untuk mendapatkan putusan ini selama persyaratannya telah memenuhi. Terakhir, apakah putusan bebas bersyarat yang sudah ditetapkan dapat diabatalkan? Jawabannya bisa. Hal ini karena seseorang yang menerima pembebasan bersyarat tidak bisa dikatakan sebagai mantan terpidana, dan ia dapat kembali masuk penjara apabila melanggar disiplin bebas bersyarat. Kemudian ia juga masih harus wajib lapor. Jadi hal ini tertuang dalam Pasal 1 butir 32 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bahwa "mantan napi adalah napi yang sudah selesai menjalankan hukumannya berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap".

0 Komentar