Pada Hari Sabtu, 10 September 2022 Justitia Club mengadakan Pengukuhan Angkatan 9 sekaligus diselenggarakannya Focus Group Discussion (FGD) mengangkat persoalan kenaikan harga BBM dengan judul "Paradoks Indonesia : BBM Naik Untuk Kesejahteraan Siapa?"
Pemerintah baru saja resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terbaru, dalam hal ini BBM jenis penugasan seperti Pertalite, Pertamax, dan Solar sejak 3 September 2022. Tentu, hal ini memicu beragam respon masyarakat terhadap kenaikan BBM yang dirasa secara tiba-tiba dan tidak memikirkan konsekuensi yang akan terjadi. Bahkan, jalur diplomasipun belum ditempuh untuk meredakan gelora masyarakat yang terus melaksanakan aksi “turun ke jalan”, khususnya para aktivis mahasiswa. Disamping itu, skenario seperti apa yang diinginkan pemerintah ketika mencanangkan untuk menaikkan harga BBM di tengah tren penurunan harga minyak mentah dunia terus dipertanyakan.
Dalam FGD ini, kami membahas pada :
- Urgensi Apa urgensi pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)?
- Sisi Pemerintah Menilik masalah kenaikan harga BBM ditinjau dari sisi pemerintah (pro)
- Sisi Oposisi Menilik masalah kenaikan harga BBM ditinjau dari sisi oposisi (kontra)
URGENSI
Beban APBN Jadi Urgensi Kenaikan BBM
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) membengkak menjadi salah satu klausul urgensi kenaikan BBM. Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai konsumtif oleh pemerintah. Diketahui bahwa APBN bahkan telah menanggung lebih dari 500 Triliun hanya untuk subsidi BBM. Penggunaan BBM secara konsumtif dijustifikasi sebagai akibat dari penyaluran BBM bersubsidi yang seringkali tidak tepat sasaran. Dilansir dari Kompas.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan bahwa kuota BBM untuk Pertalite dan Solar berpotensi habis pada September dan Oktober 2022. Diketahui bahwa pemerintah telah menetapkan kuota Pertalite sebanyak 23,05 juta KL dan Solar sebanyak 14,91 juta KL pada 2022. Realitanya, hingga Juli 2022 tingkat konsumsi Solar sudah mencapai 9,88 juta KL. Oleh karena itu, penyaluran subsidi BBM yang dinilai tidak tepat sasaran serta kuota untuk Pertalite dan Solar yang berpotensi segera habis menjadi urgensi daripada kenaikan harga BBM.
SISI PEMERINTAH
Ada 3 Justifikasi Ditinjau dari Sisi Pemerintah
- Beban APBN Meningkat Presiden Jokowi pada jumpa pers menyampaikan bahwa anggaran subsidi dan komparasi BBM untuk 2022 telah meningkat 3 kali lipat dari Rp. 152,5 T menjadi Rp. 502,4 T dan diperkirakan akan terus meningkat.
- Masyarakat Konsumtif Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM atas pertimbangan sekitar 70% subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat mampu yang disebut pengamat ekonomi sebagai upaya “yang tidak tepat dan salah sasaran”.
- Alokasi Anggaran Atas dasar pertimbangan “yang tidak tepat dan salah sasaran”, menaikkan harga BBM dengan mengurangi anggaran subsidi akan jauh lebih baik untuk dialokasikan untuk bantuan yang tepat sasaran, misalnya mekanisme yang diberikan pemerintah, yaitu BLT BBM sebesar Rp. 12,4 T yang diberikan kepada 26,5 juta keluarga kurang mampu.
SISI OPOSISI
Ada 3 Justifikasi Ditinjau dari Sisi Oposisi
- Keputusan yang Terburu-buru Kenaikan BBM subsidi seolah menjadi satu hal yang dipaksakan dan terburu-buru. Di mana pada pascacovid, kondisi masyarakat belum sepenuhnya pulih secara ekonomi. Keputusan ini dinilai merupakan Tindakan yang tidak pro rakyat kecil, terutama buruh.
- Kepentingan Politis Dengan adanya pencanangan alokasi anggaran subsidi BBM ke pemberian BLT kepada rakyat kurang mampu, maka potensi adanya kepentingan politis akan jauh lebih mudah. Di masa yang akan datang akan menjadi momentum bagi partai penguasa untuk menarik dukungan masyarakat untuk kepentingan politiknya.
- Implikasi Kenaikan harga BBM akan sangat memukul daya beli rakyat s akibat dari naiknya harga bahan pokok, memicu lonjakan inflasi, dan juga akan menganggu pertumbuhan ekonomi nasional.

0 Komentar