Ad Code

Parliamentary Threshold

 

1. Pengertian Parliamentary Threshold

Menurut Sutradara Ginting dan Pyaas Pasyid dalam jurnal Legislasi Indonesia yang ditulis oleh Agung Gunandjar Sudarsa, Parliamentary Threshold merupakan syarat ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk di parlemen. Perhitungannya dilakukan setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, kemudian dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Ketentuan tersebut baru diterapkan dalam Pemilihan umum 2009 dengan dirumuskan secara implisit dalam Pasal 202 Undang - Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2. Konsep Parliamentary Threshold

Ketentuan tentang Parliamentary Threshold di masing-masing negara umumnya dipengaruhi oleh keberadaan kultural dan historis negara tersebut berdiri. Tidak ada besaran resmi bagi suatu negara mengenai penerapan Parliamentary Threshold. Beberapa relevansi mengenai Parliamentary Threshold di beberapa negara menunjukkan variabel yang berbeda. Tidak ada batas mutlak bagi tiap negara di dunia yang menerapkan Parliamentary Threshold. 

Ketentuan tentang Parliamentary Threshold atau ambang batas bagi partai politik untuk dapat mendudukkan anggotanya di parlemen menuai pro dan kontra. Memang pada umumnya, baik DPP maupun pengamat berpandangan bahwa Parliamentary Threshold secara teoritis baik. Namun dari dinamika yang berkembang terkait dengan tingkat kesadaran budaya politik masyarakat tampaknya gagasan ini akan mengalami kendala.

Penerapan Parliamentary Threshold dinilai beberapa pihak bisa memasung proses demokrasi yang baru berlangsung sejak reformasi 1998. Penerapan Parliamentary Threshold juga dinilai tidak mengakomodasi kepentingan seluruh komponen potensi politik bangsa. Menurut pengamat politik dari  Institute Development for Local Parliament (IDKLP) Agustinus Tamo Mbapa, di Jakarta, Selasa (23/10), dikhawatirkan penerapan Parliamentary Threshold pada Pemilihan umum 2009 akan membawa implikasi buruk terhadap proses demokrasi.

Penerapan Parliamentary Threshold di tingkat bawah mempunyai potensi konflik horizontal karena ketika ada calon yang terpilih tetapi karena tidak memenuhi Parliamentary Threshold, akhirnya calon terpilih itu tidak bisa duduk di parlemen. Misalnya Jumlah Pemilih terdaftar (DP4) untuk pemilu DPP sebanyak 100.000.000 orang pemilih dan dari DP4 ini (misalkan saja, yang menggunakan hak suara/yang datang ke TPS serta cara mencentang surat suara secara benar adalah 70 dari DP4), sehingga suara sah nasional menjadi 70.00.000 suara. Berdasarkan data tersebut, bila suatu partai politik tidak mencapai perolehan suara minimal 2,5 % dari suara sah nasional atau sebesar 1.750.000 suara, maka partai politik tersebut tidak akan memperoleh kursi DPP untuk daerah pemilihan (dapil) manapun. Karena memang partai politik tersebut tidak akan dilibatkan lagi dalam penghitungan kursi DPP. Walaupun mereka mempunyai calon terpilih dengan suara terbanyak bahkan dengan jumlah suara melebihi bilangan pembagi pemilik, calon tersebut tetap tidak bisa duduk di parlemen.

Wacana Parliamentary Threshold secara teoritik itu bagus karena bertujuan untuk memastikan suara yang diperoleh partai politik hasil Pemilihan umum. Namun, kondisi masyarakat Indonesia  yang masih pluralistik dan tingkat kesadaran politik masyarakat yang masih sedang berkembang perlu mendapatkan perhatian yang serius.

Ketentuan tentang Parliamentary Threshold di masing-masing negara pada umumnya dipengaruhi oleh keberadaan kultural dan historis negara tersebut berdiri. Beberapa relefensi mengenai Parliamentary Threshold di beberapa negara menunjukkan variabel yang berbeda. Negara-negara di dunia yang menerapkan parliamentary threshold, tidak ada batas mutlak bagi setiap negara. Batas mutlak ini tidak membubuhkan adanya suatu keharusan bagi setiap negara untuk menerapkannya. Hal yang lazim adalah terdapat pengecualian dari mekanisme Parliamentary Threshold

Di Indonesia Parliamentary Threshold merupakan syarat ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk di parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Ketentuan tersebut diterapkan dalam Pemilihan umum 2009, ketentuan tersebut dirumuskan secara implisit dalam Pasal 202 Undang - Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah :

"Partai Politik Peserta Pemilikan Umum harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPP." Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPPD provinsi dan DPPD kabupaten/kota.

Sedangkan di beberapa negara menerapkan ambang batas penempatan anggota parlemen oleh partai politik sangat bervariasi dimulai dari angka 2% sampai dengan 5%, angka - angka tersebut tidak dapat di jelaskan dari mana perolehannya yang pasti angka tersebut telah disepakati oleh parlemen yang merupakan perwujudan dari kehendak rakyat.

Di Indonesia penetapan angka 2.5 % tersebut dinilai oleh beberapa pihak dalam hal ini anggota partai politik adalah inkonstitusional (tidak sesuai dengan konstitusi).

Mereka adalah partai-partai politik peserta Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasik Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka, serta calon anggota DPP peserta Pemilu 2009 dan anggota Parpol peserta Pemilu 2009.

Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan bakwa Pasal 202 ayat (1), Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 Undang - Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) inkonstitusional (bertentangan dengan Konstitusi). 

Dalam Proses persidangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan salah satu dari pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan sebagai legal standing dalam perkara No. 3/PTT-VII/2009 karena tidak menunjukkan bukti kartu keanggotaan partai politiknya.

Dalam Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga Legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik baik berbentuk Electoral Threshold maupun Parliamentary Threshold. Dalam pertimbangan putusan tersebut diuraikan “Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya Undang- Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang - Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan - pembatasan yang dibenarkan oleh konstitusi,”

Sedangkan mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut Mahkamah Konstitusi, adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang - Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah Konstitusi (MK) selama tidak bertentangan dengan hak politik, sedangkan dissenting opinion yang lainnya muncul dari Hakim Konstitusi M. Akil Mocktar. Beliau menyatakan bahwa UUD 1945 telah meletakkan “prinsip kedaulatan rakyat” menjadi “prinsip utama konstitusi” dan sekaligus menjadi “moralitas konstitusi” yang tidak hanya memberi semangat dan warna serta pengaruh dalam menentukan berbagai bentuk perundang-undangan dibidang politik melainkan juga memberikan “sifat dan warna tersendiri” kepada bentuk pemerintahan; Pemilikan umum sebagai sarana demokrasi dalam rangka mewujudkan “prinsip kedaulatan rakyat” haruslah diletakkan kepada besarnya suara pilihan rakyat terhadap wakil yang dipilihnya. Adapun besarnya mandat rakyat yang diberikan kepada calon yang dipilih menunjukkan tingginya legitimasi politik yang kuat kepada calon yang bersangkutan, sehingga dengan diperolehnya legitimasi yang kuat dari rakyat tersebut dengan sendirinya memperkuat akuntabilitas yang akan lebih mudah mengagregasi kehendak rakyat yang diwakilinya, alasan penyederhanaan partai agar memperkuat sistem presidensill ini menurut Akil adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena dengan alasan tersebut memiliki akibat terjadinya perlakuan yang tidak sama serta menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Oleh karena itu, prinsip yang terkandung  di  dalam  Pasal  22K ayat (1) UUD 1945 agar pelaksanaan pemilihan umum berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokrasi, langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Daftar Pustaka 

Undang - Undang Dasar Tahun 1945

Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilikan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang - Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Undang - Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilikan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Firdaus, Sunny Ummul. (2011). Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan                                        Pemilu yang Demokratis, Jurnal Konstitusi Volume 8, Nomor 2 

Rokhim, Abdul. (2011).  Pemilihan Umum dengan Model  Parliamentary Threshold Menuju Indonesia                        yang Demokratis di Indonesia, Jurnal Ilmu HukumVol. 7, No. 14, Hal.85 - 94

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu