Baru-baru
ini, kelahiran seorang bayi hasil rekayasa genetika menjadi berita utama di
India. Shadev, dilahirkan untuk menyelamatkan kakaknya Shadevsinh dari penyakit
serius. Ia menjadi pendonor sumsum tulang belakang bagi sang kakak yang
mengidap Thalassemia mayor.
Kelahiran
bayi dengan rekayasa genetik ini pun memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi,
pemanfaatan pengeditan gen ini dapat membantu penanganan medis. Sementara di
sisi lain, dianggap melanggar etik.
Rekayasa
genetika, juga disebut modifikasi genetika, adalah manipulasi langsung gen
suatu organisme menggunakan bioteknologi. Hal ini merupakan satu set teknologi
yang digunakan untuk mengubah susunan genetik dari sel, termasuk transfer gen-gen
yang berada dan melintasi batas-batas spesies untuk menghasilkan organisme yang
meningkat. DNA baru diperoleh dengan mengisolasi dan menyalin materi genetik
dari induk menggunakan metode DNA rekombinan atau sintesa DNA buatan. Sebuah
vektor biasanya diciptakan dan digunakan untuk menyisipkan DNA ini ke organisme
inang. Molekul DNA rekombinan pertama dibuat oleh Paul Berg pada tahun 1972
dengan menggabungkan DNA virus monyet SV40 dengan virus lambda. Selain memasukkan gen, proses ini dapat
digunakan untuk menghapus gen. DNA baru dapat dimasukkan secara acak, atau
ditargetkan ke bagian tertentu dari genom.
Tidak
hanya di India Ilmuwan china juga melakukan bayi rekayasa genetika dalam hal
melakukan tindakan perlindungan HIV terhadap si bayi kembar tersebut. Jiankui
merupakan pelaku dari tindakan tersebut, pengadilan juga menjatuhkan hukuman
kepada dua orang lainnya, yakni Zhang Renli dan Qin Jinzhou, yang dianggap
berkomplot dengan Jiankui untuk melakukan eksperimen itu. Majelis Hakim di
Shenzhen mengatakan bahwa para pelaku beraksi "demi ketenaran dan
keuntungan pribadi". Mereka juga dianggap telah benar-benar
"mengacaukan tata tertib dunia medis", seperti dilaporkan kantor
berita Xinhua.
konsekuensi
penuh atas bayi hasil rekayasa genetika masih belum jelas, akan tetapi
dampaknya dapat bersifat permanen. Selama kode genetik untuk sifat tertentu diketahui, ilmuwan bisa
menggunakan teknik CRISPR untuk memasukkan, mengedit, atau menghapus gen di
hampir semua genome makhluk hidup. Temuan inilah yang membuat dunia akademisi
gegap gempita karena dianggap bertentangan dengan moral. Bahkan, harapan Doudna
agar teknik CRISPR digunakan untuk membantu manusia mulai diwujudkan. Sebab
seorang peneliti dari Cina, He Jiankui mengklaim telah berhasil merekayasa DNA
bayi agar memiliki kemampuan melawan infeksi HIV.
Hasil penelitian Jiankui menimbulkan pro dan kontra di
kalangan peneliti. Mereka menilai tindakan Jiankui melanggar kode etik dan tak
bertanggung jawab karena dilakukan secara rahasia. Bahkan hingga saat ini, belum
ada publikasi resmi dari Jiankui perihal kapan ia memulai eksperimen pengeditan
manusia sehingga sulit dikonfirmasi apakah peserta eksperimen memahami risiko
dan manfaatnya. Hal ini perlu menjadi perhatian karena para ahli belum
sepenuhnya tahu dampak panjang pengeditan DNA bagi manusia.
Menyadari risiko yang belum diketahui, Akademis Sains,
Teknik dan Kedokteran Nasional Amerika Serikat tahun 2017 menetapkan bahwa
metode pengeditan gen dibenarkan secara etis hanya untuk penelitian
laboratorium. Di luar itu, rekayasa genetik manusia hanya diizinkan untuk
mengobati atau mencegah penyakit serius yang tidak memiliki alternatif
penyembuhan. Aturan ini dibuat untuk mencegah penyalahgunaan teknik CRISPR pada
manusia.
Jika
bayi-bayi itu tumbuh dewasa dan kelak memiliki keturunan, mofidikasi genetik
apa pun yang mereka miliki dapat menurun ke generasi-generasi berikutnya. Hal
itu kemungkinan dapat memulai terjadinya perubahan jangka panjang terhadap ras
manusia. Ini juga sewaktu-waktu
dapat merubah Ras manusia menjadi suatu makhluk hidup yang direkayasa.
Akademi Sains, Teknik, dan Kedokteran Nasional AS pada
2017 menetapkan bahwa metode pengeditan gen dibenarkan secara etis hanya untuk
penelitian laboratorium. Di luar laboratorium, rekayasa genetik pada manusia
hanya diizinkan untuk mengobati atau mencegah penyakit serius yang tak punya
alternatif penyembuhan lain. Sementara itu, pemerintah Cina melarang kloning
manusia tetapi tidak secara khusus mengatur tentang rekayasa genetika.
Kelemahan-kelemahan itu sebenarnya bukan hambatan, mengingat kemajuan teknologi
yang pesat. Bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan para ilmuwan mampu
menemukan solusinya. Jadi, sejatinya, hal utama yang memagari penerapan
rekayasa genetika adalah etika ilmiah.
ASPEK HUKUM REKAYASA GENETIKA, DALAM HUKUM POSITIF
INDONESIA.
Tinjauan Umum Rekayasa Genetika dan Aspek Hukum yang
Mengaturnya
Genetika disebut juga ilmu keturunan. Berasal dari
kata latin Genos yang artinya suku bangsa, mula kejadian atau asal-usul.
Genetika adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk alih informasi hayati dari
generasi kegenerasi. Di era teknologi rekayasa genetika, telah ditemukan sebuah
invensi tentang mahluk hidup yang rumusan DNAnya sudah diganti atau ditambah.
Mahluk seperti ini disebut “Mahluk Transgenik”. Pada bulan Juli tahun 2000,
konsorsium The Human Genome Project Group dan The Celera Company menerbitkan
buku tentang rumusan hidup DNA manusia. Setiap manusia memiliki unsur-unsur
penting dalam tubuhnya, yaitu : Sel; Dalam setiap sel terdapat 23 pasang
Kromosom; Setiap Kromosom berupa kumpulan padat DNA manusia; Sepotong DNA
terdiri dari 1000-500.000 pasang Nukleus; Setiap gen menentukan ciri-ciri,
sifat, dan bentuk manusia; Setiap gen menginstruksikan pembuatan protein. Perubahan
sepotong DNA disebut mutasi dan setiap mutasi menyebabkan “kelainan”. Teknik
mutasi untuk mengubah potongan-potongan DNA dikenal dengan nama Rekayasa
Manusia. Penerapan rekayasa genetika bidang kesehatan dan farmasi sampai saat
ini antara lain : Diproduksinya insulin dengan cepat dan murah. Adanya terapi
genetic; Diproduksinya interferon; Diproduksinya beberapa hormon pertumbuhan.
Aspek Hukum Kekayaan Intelektual di bidang Rekayasa
Genetika
Kemajuan teknologi turut mempengaruhi perkembangan
hukum dibidang Hak Kekayaan Intelektual. Misalnya di bidang paten, invensi yang
berbasis teknologi canggih bermunculan, salah satunya adalah invensi dibidang
rekayasa genetika. Para peneliti menuntut agar invensi mereka yang disebut
sebagai organisme yang dimodifikasi secara genetik, diberi perlindungan oleh
Paten. Di negara-negara berkembang, kebijakan untuk memberikan perlindungan
terhadap invensi di bidang rekayasa genetika belum banyak diatur oleh paten. Terdapat
beberapa faktor yang menjadi sebab tidak diaturnya rekayasa genetika dalam
suatu peraturan perundang-undangan secara khusus. Faktor pertama adalah belum
banyaknya invensi di bidang rekayasa genetika. Faktor kedua adalah banyaknya
anggapan bahwa invensi di bidang rekayasa genetika tersebut bertentangan dengan
nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat. Di Indonesia, rekayasa genetika
tidak diatur dalam undang-undang secara khusus. Namun apabila kita lihat dalam
Undang-Undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten, terdapat batasan mengenai aspek
hukum dalam rekayasa genetika. Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang:
a. proses atau
produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum,
atau kesusilaan;
b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau
pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan
matematika; atau
d. i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; ii.
proses biologis yang esensial untuk
tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses
mikrobiologis.
Dari huruf d ke-I, yang dimaksud dengan makhluk hidup
dalam huruf d butir i ini mencakup manusia, hewan, atau tanaman, sedangkan yang
dimaksud dengan jasad renik adalah makhluk hidup yang berukuran kecil dan tidak
dapat dilihat secara kasat mata melainkan harus dengan bantuan mikroskop,
misalnya amuba, ragi, virus, dan bakteri. Kita dapat menyimpulkan bahwa
rekayasa genetika dapat diberikan hak paten yang diatur dalam Undang-Undang
No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, dikhususkan hanya untuk jasad renik, bukan
untuk makhluk hidup lain termasuk manusia.
Aspek Hukum Kesehatan di bidang Rekayasa Genetika
Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, tidak mengatur mengenai tindakan rekayasa genetika terhadap manusia.
Namun apabila kita lihat dalam Pasal 109, yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi,
mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai
makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus
menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.”
Pasal tersebut hanya mengatur mengenai penggunaan
teknologi rekayasa genetika terhadap pengamanan makanan atau minuman agar layak
dikonsumsi oleh manusia. Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur
dan mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan, dan minuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111.
Peraturan pelaksana yang mengatur mengenai rekayasa
genetik diIndonesia terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005 tentang
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. Namun peraturan pemerintah tersebut
bukan merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 109 Undang-Undang No.36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan.
Aspek Etika
Masalah etis akan segera timbul apabila bioteknologi
medis ini diterapkan kepada manusia, karena dalam proses pembuahan di tabung
petri, biasanya banyak embrio dihasilkan, tetapi tidak semua dapat dipakai
untuk ditanam dalam rahim, maka oleh sebab itu sebagian lagi akan dimusnahkan
atau dibuang. Padahal secara etis embrio adalah mahkluk hidup. Apalagi jika
kloning manusia dilakukan dengan menggunakan jasa bank sel telur dan melibatkan
pihak ketiga yaitu ibu pengandung yang menyediakan jasa penyewaan rahimnya
sampai pada proses kelahiran. Tidak terbayangkan betapa kompleksnya
permasalahan etis yang akan timbul. Dalam hukum kesehatan, pengembangan iptek
sebagai hasil budaya manusia Indonesia di dasarkan pada moral ketuhanan dan
kemanusiaan yang adil dan beradab. Atas dasar landasan filosifis tersebut maka
penelitian danpenerapan bioteknologi rekayasa genetika untuk tujuan pengobatan
medis (cloning terapeutic) dibuka ruang untuk itu, karena mempunyai nilai
manfaat bagi umat manusia, sepanjang tentunya dilakukan sesuai dengan
informedconsent maupun reserved informed consent sebagai rambu-rambu yang harus
ditaati oleh setiap peneliti, demi untuk mencegah penyalah gunaan kode genetika
dan informasi genetika. Hal ini untuk mengantisipasi potensi terjadinya
pelanggaran hak dalam hubungan kontraktual.
Tindakan
merekayasa genetika bayi yang diawalnya digunakan untuk keperluan medis
berangsur-angsur
menjadi tindakan yang mencari keuntungan pribadi juga akan mengakibatkan
kesenjangan sosial karena orang-orang
kaya akan lebih mudah untuk membentuk anak-anak yang mereka inginkan. Dari
sisi positifnya rekayasa genetika ini bisa membantu proses kesehatan medis
menjadi lebih mudah.
Apabila dilihat dari sisi yuridis terkait dengan
perlindungan HAM, tujuan dari pengadaan bayi rekayasa genetik ini tentunya
sudah menyalahi kode etik dari HAM. Berdasarkan Pasal 28I ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, dimuat tentang hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, dan hak bebas dari tindakan diskriminatif. Dapat diartikan bahwa
tindakan memanfaatkan sumber daya dalam tubuh sang bayi untuk tujuan
penyembuhan individu lain termasuk dalam pelanggaran HAM. Sebuah deklarasi HAM
yang ditetapkan berdasarkan konsensus pada tanggal 25 juni 1993, menegaskan
bahwa HAM bersifat universal, tidak dapat dibagi, saling tergantung, dan saling
terkait. Sehingga ‘Bayi rekayasa genetik’ itupun berhak atas HAM.
Namun, di sisi lain juga terdapat pendapat yang
menyatakan bahwa proyek bayi rekayasa genetik ini merupakan salah satu bentuk
perkembangan dalam bidang medis. Sehingga dukungan juga diterima atas konsep
penyembuhan dan variasi pengobatan melalui bayi rekayasa genetik.
Ketentuan Pasal 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang HAM dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan HAM mengatakan “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.” Pengaturan HAM dalam hukum bermaksud agar hak-hak manusia itu dapat
dirumuskan dengan cara yang paling tepat dan disesuaikan dengan sistem hukum
yang berlaku. Ilmu hukum sangat penting dalam memberikan dasar yang teguh
kepada HAM baik dalam sistem hukum nasional maupun internasional. Konsep Hukum
HAM di Indonesia tidak terlepas dari nilai-nilai teologis yang mengakui bahwa
hak bukan sesuatu yang diberikan oleh kekuasaan duniawi melainkan adi duniawi,
karena itu manusia memiliki klaim atas dirinya yang tidak dapat diperlakukan
semena-mena oleh pihak mana pun. Sejalan dengan filosofi tersebut maka meskipun
peraturan perundang Indonesia tentang HAM tidak mengatur secara spesifik
mengenai penerapan bioteknologi rekayasa genetika di bidang medis. Namun
landasan filosofis dalam beberapa ketentuannya sedikit banyaknya menyentuh
persoalan mendasar yang berkaitan dengan penerapan bioteknologi medis yang
dapat dijadikan acuan untuk membantu mengkonstruksi cara pandang bangsa
Indonesia dalam mengkaji persoalan penerapan bioteknologi rekayasa genetika
yang sesuai dengan Hukum HAM di Indonesia. Ketentuan Pasal 28A, 28B Ayat (1)
dan Pasal 28C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjamin, hak setiap orang atas
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan
setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, adalah ketentuan HAM yang sifatnya umum, tetapi secara implementatif
ada penekanan yang lebih bersifat khusus, yaitu tentang hak setiap orang atas
keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh
menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya.
REFERENSI
Christiawan, T. (2014). Makalah
Aspek Hukum Rekayasa Genetika, Aborsi dan Euthanasia. Retrieved from
academia.edu:
https://www.academia.adu/0789502/Makalah_Aspek_Hukum_Rekayasa_Genetika_Aborsi_dan_Eutanasia
Firdausi, F. A. (2018, November 30). Ilmuan Cina Rekayasa
DNA Bayi untuk Cegah HIV, Etiskah? Retrieved from Dari tirto.id:
https://tirto.id/daBP
Halodoc, R. (2018, Desember 06). Ketahui Fakta CRISPR,
Teknik Edit DNA Bayi yang Ramai Dibicarakan. Retrieved from halodoc:
https://www.halodoc.com/artikel/crispr-teknik-edit-dna-bayi-yang-ramai-
NEWS, B. (2019, Desember 31). Pemerintah China hukum
ilmuan yang ciptakan 'bayi hasil rekayasa genetika' tiga tahun penjara.
Retrieved from bbc.com: http://www.bbc.com/indonesia/dunia-50953080
Newsroom, N. (2020, November 3). Pro Kontra Etik Bayi
Rekayasa Genetik. Retrieved from Narasi.tv:
https://www.narasi.tv/narasi-newsroom/pro-kontra-etik-bayi-rekayasa-genetik
Sudjana. (2015). ASPEK HUKUM PENGGUNAAN DEOXYRIBONUCLEIC
ACID (DNA) PADA PROSES KLONING EMBRIO MANUSIA. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 154-155.
0 Komentar