Justitia
Club Bedah Kasus dengan judul “Rangkap Jabatan Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan Ketua Umum Parpol” pada hari Kamis,
11 Maret 2021 dilakukan melalui daring yang dimana pada Bedah Kasus kali ini di
moderatori dan dipandu oleh Sri Haryati, S.H. Sebelum dilakukan Bedah Kasus
tentunya para peserta telah terlebih dahulu membaca dan menganalisis isu
terkait.
Dalam rangka membantu Presiden dan
Wakil Presiden dalam meningkatkan kelancaran pengendalian Program-Program
Prioritas Nasional dan penyelenggaraan Komunikasi Politik Kepresidenan serta
Pengelolaan Isu Strategis, Presiden telah membentuk Kantor Staf Presiden., yang
dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2019 tentang Kantor Staf
Presiden. Kantor Staf Presiden merupakan lembaga nonstruktural yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan Sumber Daya Manusia
yang dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil dan Non-PNS.
Dalam bedah kasus kali ini tentu saja para peserta mengeluarkan dan menyampaikan analisisnya dari berbagai aspek. Ada yang berpendapat bahwa tidak ada aturan yang dilanggar di dalam kasus ini, selama hal tersebut ditunjuk oleh presiden maka secara konstitusi sah, tidak termasuk kedalam dualisme jabatan karena melihat secara harfiah yaitu jabatan lebih dari satu, dari segi pemerintahan oleh karena itu bukan dualisme jabatan pemerintahan dikarenakan yang satunya Ketua Umum Parpol merupakan jabatan sipil sedangkan KSP merupakan lembaga struktural. Namun, walaupun demikian alangkah lebih baiknya jika menduduki satu jabatan saja, agar fokusnya tidak terbagi-bagi. Pendapat lain mengatakan bahwa Kasus ini bukan peristiwa yang pertama kali terjadi, terkait rangkap jabatan pada periode presiden kali ini banyak sekali temuan pejabat pemerintah baik staff kepresiden atau kementrian yang rata-rata memegang jabatan komisaris. Menjadi ketum parpol yang oposisi dan satunya KSP (pro pemerintah) sehingga menjadi sesuatu yang tidak dapat bersatu yang diduga hal ini merupakan suatu “permainan politik”. Jika kita melihat dari tweet prof. jimly (tokoh HTN), bahwa ada dua saran yaitu: jangan disahkan hasilnya; dan untuk memberhentikan KSP Moeldoko. Ada juga pendapat Prof Mahmud yang mengatakan untuk dikembalikan lagi menjadi kebijakan ad/art parpol. Dimana jika kita lihat dari Pasal Parpol yang berbunyi perselisihan di parpol itu dselesaikan dengan musyawarah mufakat dan jika tidak bisa diselesaikan maka bisa diselesaikan di pengadilan.
Kemudian
timbul pertanyaan apakah pemerintah itu bisa mengesahkan KLB ini atau dibawa ke
pengadilan? Ada yang menarik dari
kasus ini, selama ini pemerintah tidak memberikan reaksi apa-apa dan hal ini pernah
juga terjadi di kepemimpinan Presiden sebelumya, secara hukum juga pemerintah
tidak boleh mengganggu. Jika kita lihat pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, hal-hal seperti ini tidak bisa diganggu
oleh pemerintah dan bisa dibawa ke ranah hukum.
Jika
kita lihat dalam kasus ini, Kemenkumham tidak memiliki kewenangan untuk mengesahkan
kepengurusan hasil KLB, termasuk penetapan ketum barunya, karena secara yuridis
KLB ini sudah cacat hukum, Kemenkumham tidak dapat memproses atau berhak. Sesuai
dengan ad/art Demokrat Pasal 90 ayat 2 dan 3 nya, KLB itu dapat diubah dengan
beberapa syarat, pasal 84 ayat 4 KLB hanya dapat ditetapkan atas majelis tinggi
partai.
Dari
sisi etik pejabat pemerintah, menjabat ketum parpol bahkan melalui mekanisme KLB,
dapat menghilangkan netralitas pejabat pemerintah, apalagi parpol ini merupakan
parpol oposisi. mengenai rangkap jabatan seharusnya Presiden lebih adil dalam
bersikap netral, sehingga tidak memunculkan prasangka buruk oleh masyarakat
seolah-olah ada permainan politik di dalam kasus ini. Jika dilihat dalam Pasal
71 UU Nomor 1 Than 2015 tentang Netralisasi ASN terkait tindakan keuntungan
suatu calon, tindakan ini itu tidak memberikan kenetralan.
Selain
dari sisi hukum, kita harus coba merumuskan persoalan ini dari sisi lainnya,
bahwa persoalan ini tidak semata-mata hanya berhenti sampai sudah dipilih dan
ditetapkan, terlepas dari akan dibawa ke Pengadilan TUN, kita harus melihat
dari sisi lain seperti dari sisi sosiologis (sosialnya), dan juga etika
(sebagai pejabat pemerintah dan sebagai ketua parpol) ini merupakan sejarah
pertama dilakukan oleh orang yang berasal dari pemerintahan, kita harus
perhatikan tentunya dari sisi lain yaitu kepentingan dan kerawanan-kerawanan
lainnya, meskipun dari sisi hukumnya tidak ada problem. Salah satu pengamat
politik mengatakan bahwa tidak ada rangkap jabatan dalam kasus ini. Selain itu
juga harus melihat dari sisi anggarannya juga, selain dari iuran anggota dan
hal-hal lainnya kita harus memperhitungkannya juga dari berapa jumlah kader
atau berapa besar yang didapat oleh parpol.
Kemudian
yang bisa kita lakukan untuk masyarakat luar mengenai hal ini adalah mendesak
regulasi mengenai rangkap jabatan, jadi jabatan apapun itu tidak boleh
dilakukan, terutama yang berkaitan dengan politik.
1 Komentar
Kerennn banget ....
BalasHapus