Pada hari Sabtu, 17 September 2022, Justitia Club mengadakan Bedah Kasus dengan judul “Vonis Mati Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana (Bedah Kasus Ferdy Sambo)” kegiatan ini diadakan di Gedung Kuliah Bersama (Ruang 3.1) Universitas Tanjungpura dengan pemateri yaitu bapak Abunawas, S.H., M.H. Sebelum dilakukan Bedah Kasus tentunya para peserta telah terlebih dahulu membaca dan menganalisis isu terkait.
Sebelum lanjut membaca, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana kronologis dari kasus terkait. Kronologis tersebut dapat dibaca pada link berikut https://justitiaclubofficial.blogspot.com/2022/09/kronologis-kasus-ferdy-sambo-mulai-dari.html?m=1
Setelah memahami bagaimana kronologis kejadian, peserta Bedah Kasus Justitia Club mencari fakta-fakta hukum yang dapat ditemukan dan barulah menganalisis bagaimana vonis hukuman yang pantas didapatkan terhadap para tersangka.
Tersangka dalam Kasus Penembakan terhadap Brigadir J
- Ferdy Sambo - Ricard Eliezer (Bharada E)
- Ricky Rizal - Kuat Ma'ruf
- Putri Candrawathi
Pihak-pihak yang terlibat dalam Kasus Penembakan terhadap Brigadir J
Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rachman Arifin, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto sebagai pelaku Obstruction of Justice atau menghalang-halangi proses hukum beserta Ferdy Sambo sendiri.
Kemudian, ada 34 polisi yang diduga melanggar kode etik karena tidak professional menangani kasus kematian Brigadir J, ke 34 polisi ini dicopot dari jabatannya dan dimutasi ke pelayanan Markas Polri.
Beberapa dari mereka sudah dipecat dari Polri yaitu Ferdy Sambo, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, Kombes Agus Nurpatria, dan AKBP Jerry Raymond Siagian.
Pasal Yang Dijerat Terhadap Tersangka
Pasal 340 Kuhp Tentang Pembunuhan Berencana Subsider Pasal 338 KUHP Tentang Pembunuhan Juncto Pasal 55 Juncto 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Kuhp).
1. Ferdy Sambo
Ferdy Sambo sebagai pelaku utama yang memerintahkan Eliezer untuk menembak Yosua di rumah dinasnya pada Jumat, 8 Juli 2022. Ferdy Sambo juga ikut menembak Brigadir Yosua sebanyak dua kali.
Selain itu, Ferdy Sambo yang membuat skenario tembak menembak antara Brigadir Yosua dengan Bharada Eliezer yang diawali dugaan pelecehan terhadap istrinya. Ferdy Sambo juga sebagai orang yang memerintahkan bawahannya untuk mengambil hingga merusak CCTV.
Bahkan, Ferdy Sambo juga disangkakan Pasal 32 dan Pasal 33 UU ITE, dan Pasal 221, 223 KUHP karena sebagai pelaku Obstruction of Justice.
2. Putri Candrawathi
Putri Candrawathi, menjadi tersangka setelah polisi mengantongi dua alat bukti yang menunjukkan keterlibatannya dalam pembunuhan berencana mendiang Brigadir J.
1) Keterangan Saksi yang berubah-ubah
2) Berdasarkan rekaman CCTV, Putri Candrawathi ada di TKP ketika Brigadir J ditembak
3. Ricard Eliezer (Bharada E)
Bharada E menjadi eksekutor penembakan atas perintah Ferdy Sambo.
4. Ricky Rizal
Memberikan keterangan palsu.
Dalam keterangannya, Brigadir Ricky Rizal mengaku tahu ada baku tembak antara Bharada E dan Brigadir J. Namun, Brigadir Ricky hanya bersembunyi di balik kulkas. Ricky Rizal pernah diperiksa Komnas HAM untuk dimintai keterangannya terkait kasus ini. Brigadir RR mengaku mendengar teriakan istri Ferdy Sambo. Namun, ia mengaku tidak tahu alasan Putri berteriak.
5. Kuat Ma’ruf
Sosok yang mengancam untuk membunuh Brigadir J.
Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai vonis yang akan dijatuhi, mari kita pahami makna pembunuhan dan pembunuhan berencana berikut :
Tindak pidana pembunuhan ini diatur di dalam Pasal 338 KUHP yang kemudian ditambahkan unsur direncanakan terlebih dahulu dalam Pasal 340 KUHP. Perbedaan antara kedua tindak pidana tersebut terletak pada unsur “dengan rencana terlebih dahulu”. Tindak pidana pembunuhan terjadi karena adanya kehendak atau niat membunuh dengan pelaksanaannya terjadi dalam waktu yang sama. Sementara dalam tindak pidana pembunuhan berencana sedari awal niatnya terbentuk dengan “rencana” sebelum melancarkan aksi untuk membunuh seseorang atau sekelompok orang. Pelaku tindak pidana pembunuhan berencana, pelaku memerlukan waktu untuk berpikir dengan tenang dan mengatur strategi, sementara tindak pidana pembunuhan biasa, pelaku spontan atau bahkan tidak sengaja membunuh seseorang. Tindak pidana pembunuhan ini merupakan suatu perbuatan yang melanggar hak asasi manusia, sehingga hukuman yang dijatuhi akan lebih berat daripada tindakan pidana lainnya. Bahkan terhadap pembunuhan berencana berdasar ketentuan di dalam Pasal 340 KUHP, pelaku diancam dengan hukuman mati atau pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun.
Dalam kasus Ferdy Sambo, Pihak kepolisian sudah menyebutkan bahwa tidak ada insiden baku tembak antara Bharada E dengan Brigadir J di rumah Ferdy Sambo sebagaimana berita yang beredar di awal. Peristiwa yang sebenarnya, yaitu Sambo memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir J di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada Jumat, 8 Juli 2022.
Berdasarkan kronolgis kejadian, dapat dipastikan bahwa kematian Brigadir J merupakan bagian dari pembunuhan berencana dengan tersangka utamanya yaitu Ferdy Sambo. Apalagi ditambah dengan adanya Obstruction of Justice yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Bagaimana jika vonis mati yang ditetapkan kepada para tersangka terkait pembunuhan berencana?
Berdarkan diskusi dari forum selama kegiatan, ada dua pendapat berlawanan (pro dan kontra) terhadap vonis mati untuk tersangka, lebih tepatnya Ferdy Sambo.
Pendapat kontra merasa bahwa vonis mati merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi dan juga Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk hidup. Perlu diingat bahwa kematian seorang manusia merupakan hak ilahiyah. Hak ilahiyah merupakan hak yang hanya dimiliki oleh Tuhan dan hanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk mencabut nyawa manusia terlepas dari besar atau kecilnya kesalahan yang telah diperbuat seseorang. Hal ini juga selaras dengan kosntitusi pasal 28A UUD NRI Tahun 1945 serta Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik. Berdasarkan sumber hukum tersebut hak hidup itu bersifat hakiki artinya hak itu melekat sejak awal mula kehidupan manusia atau sejak manusia dalam kandungan serta bersifat universal artinya berlaku secara menyeluruh terhadap semua individu yang bernyawa di dunia ini tanpa terkecuali. Selain itu, hak hidup juga merupakan hak yang tidak dapat diderogasi atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun.
Sementara, pendapat pro menyatakan bahwa vonis mati tersebut perlu untuk dilakukan. Hukuman mati ini merupakan bagian dari penerapan teori absolut. Hal ini bertujuan untuk memberi efek cegah terhadap penjahat potensial kejahatan. Bila menyadari akan dihukum mati, penjahat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan, terutama pembunuhan. Pidana mati menjadi suatu pilihan sanksi terakhir, dengan maksud pemberian efek jera atau deterren effect dan sebagai sarana menjaga ketenteraman secara normatif. Hukum, pembenaran terhadap hukuman mati di dalam hukum positif di Indonesia secara yuridis-normatif dapat dirujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Pasal 10 KUHP. Pasal tersebut menyatakan bahwa hukuman mati sebagai jenis pidana pokok masih berlaku di Indonesia dan masih tetap di pertahankan dalam sistem hukumnya. Pidana mati tercantum pada delik kategori kejahatan luar biasa, salah satunya yaitu pembunuhan berencana. Hukuman mati terhadap kejahatan luar biasa, dinilai tidak bertentangan dengan HAM maupun hukum positif yang berlaku. Aturan perundang-undangan tentang HAM secara tegas telah menerangkan tentang adanya pembatasan terhadap hak-hak tertentu dari seorang pelaku tindak pidana. Dengan demikian, dipidananya pelaku tindak pidana kejahatan pembunuhan berencana merupakan salah satu bentuk wujud nyata dari penegakan hukum di masyarakat. Penegakan ini sesuai dengan tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Tim Pro mendukung vonis mati tersebut hanya terhadap Ferdy Sambo, sedangkan untuk tersangka lainnya tergantung pada peran dan motif mereka masing-masing.
Kesimpulan
Para Tersangka tersebut terjerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 juncto 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu ancaman maksimal hukuman mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun.
Hukuman yang akan dijatuhi terhadap tersangka ini tergantung pada bukti dan motif
pembunuhan berencana yang diterima majelis hakim. Selain itu, tergantung bagaimana proses di persidangan nanti, apabila ada bukti-bukti yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat dipatahkan, maka bisa menjadi keringanan terhadap tersangka dan dapat mengurangi hukuman terhadap pasal yang di jatuhkan.
Terakhir, kita juga saat ini harus menerapkan asas praduga tak bersalah kepada para tersangka hingga mereka menerima hukuman berkekuatan tetap dari pengadilan.

1 Komentar
keren bgt
BalasHapus