Persoalan korupsi dimanapun dan terkhususnya di
Indonesia telah merupakan satu di antara persoalan yang sangat rumit. Hampir
semua “lini kehidupan bernegara” sudah terjangkit wabah korupsi, bahkan korupsi
seolah-olah sudah menjadi “budaya”, sekalipun berbagai peraturan
perundang-undangan untuk memberantasnya telah ada, tetapi sampai saat ini Pemerintah
belum juga berhasil memberantas kegiatan dan pelaku korupsi. Persoalan korupsi
di Indonesia (kolusi dan nepotisme merupakan bagian dari korupsi) merupakan
salah satu persoalan yang sangat rumit. Hampir semua lini kehidupan sudah
terjangkit wabah korupsi. Arogansi aparat penegak hukum tidak cukup kuat untuk
menahan laju kasus korupsi yang merajalela dan terus berkembang biak. Korupsi
seolah-olah telah menjadi budaya, selain itu keraguan masyarakat terhadap
keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi, menambah persoalan bagi aparat
penegak hukum. Pada dasarnya, penegakan hukum harus bersifat sinambung dan
partisipasif, karena:
1. Kasus korupsi selalu terkait dengan kekuasaan, keserakahan, dan tipu muslihat; sedangkan “power tend to corrupt”. Untuk memberantas korupsi diperlukan “political will” dari berbagai elemen negara; adanya political will, mutlak menjadi syarat pra-kondisi menuju Pemerintahan yang bersih dan Pemerintah yang baik. Dalam memberantas korupsi, mutlak diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki “kebebasan fungsional dan persoonlijk” dengan menjunjung tinggi supremacy of moral dan memiliki doktrin “to bring justice to the people”. Pemberantasan kasus korupsi, ternyata tidak punya kemampuan apabila hanya mengandalkan pada hukum positif saja, lebih jauh nampaknya masih perlu ditemukan dasar-dasar keilmuan objektif agar kasus korupsi dapat diadili dan pelakunya dihukum.
Di Indonesia, penyelenggaraan hukum atau untuk selanjutnya disebutkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diarahkan untuk adanya kekuaaan kehakiman yang bebas dan mandiri, serta terlepas dari segala bentuk intervensi pihak lain dalam proses peradilan sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 25 UUD 1945 yang menyebutkan, “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka”, artinya harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Sehubungan dengan itu, maka harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan hakim. Terwujudnya kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan satu di antara pilar negara hukum yang oleh M. Sheltema disebutkan bahwa “setiap negara berdasarkan atas hukum mempunyai 4 asas utama yaitu asas kepastian hukum, asas persamaan, asas demokrasi, dan asas bahwa pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat
Asas kepastian hukum harus memenuhi berbagai persyaratan yaitu adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kebebasan yang diinginkan meliputi kebebasan secara fungsional dan kebebasan persoonlijk. Kebebasan fungsional mengandung larangan menurut Hukum Tata Negara bagi kekuasaan negara lain untuk mengadakan intervensi dalam pemeriksaan perkara oleh hakim baik dalam pertimbangan maupun dalam penjatuhan hukuman. Kebebasan fungsional akan didukung oleh kebebasan yang bersifat persoonlijk yang meliputi kemampuan pribadi hakim dalam hal profesionalisme dan kesejahteraan hidup. Sasaran akhir dari terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu, untuk mencegah penyelenggaraan pemerintahan bertindak semena-mena dan menindas, serta untuk dapat menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintahan atas suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik.
Akan tetapi, fakta-fakta kriminal dalam penyelengaraan hukum oleh oknum aparat penegak hukum tentu tidak dapat terelakkan. Selama tiga tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa aparat penegak hukum yang paling banyak terjerat kasus korupsi adalah hakim. Berdasarkan data yang tercatat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terdapat 34 aparat penegak hukum yang merupakan koruptor, di antaranya adalah 21 koruptor dengan jabatan hakim, 10 koruptor dengan jabatan jaksa, serta 3 orang dari kepolisian. Misalnya pada kasus Tipikor yang terjadi pada September lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan hakim agung Sudrajat Dimyati sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung. Tentu hal ini menambah daftar panjang nama aparat penegak hukum yang tersangkut kasus korupsi. Aparat hukum dengan tupoksinya, seharusnya bekerja untuk penegakan hukum yang bertumpu pada sendi-sendi keadilan. Namun nahasnya, justru melakukan pelecehan terhadap arti dari sila kelima Pancasila.
Dalam penyelenggaraan hukum rentan untuk dimanipulasi oleh adanya benturan kepentingan oknum-oknum tertentu. Parahnya kepentingan tersebut bisa saja menghancurkan hajat hidup orang banyak apabila berada dalam sektor yang cukup finansial. Alhasil, aparat penegak hukum menjadi sasaran bagi oknum tertentu demi tercapainya kepentingan yang dituju, baik kepentingan perorangan maupun kepentingan perusahaan atau kelompok.
Contoh Penegak Hukum yang terjerat Kasus Korupsi
Sebagai contoh kasus suap Parlin Purba yang pernah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Dia ditangkap bersama pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VII Provinsi Bengkulu Amin Anwari dan Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo Murni Suhardi. KPK turut mengamankan uang sebesar sepuluh juta yang diterima Parlin dari Murni melalui Amin. Uang tersebut merupakan suap agar kasus dugaan korupsi yang terkait proyek pembangunan irigasi di Bengkulu tidak sampai ditangani Kejaksaan Tinggi.
Kemudian ada Sudrajat Dimyati yaitu seorang hakim Mahkamah Agung terjerat kasus suap dengan dugaan menerima duit sogokan sebesar Rp 800 juta untuk mengurus kasasi perdata PT KSP Intidana. Dalam kasus suap ini, lima orang pegawai MA lainnya juga ikut menjadi tersangka karena berperan sebagai perantara. Terkait kasus suap yang menjerat Hakim Sudrajad Dimyati kinerja MA dipertanyakan, karena hal ini memperlihatkan bahwa kredibilitas Mahkamah Agung turun karena gagal dalam membina hakim dan aparatur peradilan.
Upaya yang dilakukan atas kasus korupsi yang masih menjerat aparatur penegak hukum
- Memecat pelaku koruptor dari profesinya dan memberlakukan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, bahkan untuk aparatur penegak hukum yang melakukan tindak korupsi hukuman yang dijatuhi lebih berat daripada yang tidak berprofesi hukum
- Mengevaluasi dan memperbaiki sistem rekrutmen mulai dari seleksi hingga uji kelayakan di DPR terhadap calon hakim agung.
- Meningkatkan dan memperketat pengawasan terhadap lembaga dan instansi-instansi hukum, seperti di peradilan, kepolisian, dll.
- Memperhatikan moral serta integritas Hakim Agung sebagai prasyarat penting dalam mengemban tugas mulia sebagai Hakim Agung agar kejadiaan ini tidak terulang kembali.
- Membuat formula reformasi di bidang hukum peradilan, sesuai dengan yang di ucapkan oleh bapak presiden jokowi.

0 Komentar