Fakta menunjukkan bahwa oligarki masih ada dan bahkan berkembang di Indonesia. Oligarki memiliki makna bahwa kekuasaan berada di tangan segelintir orang, baik yang sudah terhubung atau terikat dengan hubungan-hubungan di masa lalu maupun orang yang memiliki kewenangan dan kekuasaan di masa sekarang. Keberadaan Oligarki salah satunya dapat dilihat dari penguasaan sektor kelapa sawit dan pengelolaan produksi biodiesel. Berdasarkan data versi majalah Forbes, dari 40 orang terkaya Indonesia, ada 15 diantaranya yang menumpuk kekayaannya dari bisnis sawit. Apabila diperkecil, 6 dari 10 orang terkaya adalah konglomerat sawit. Adanya alokasi dana sawit yang tidak adil dan pemberian subsidi pada segelintir korporasi sawit diakibatkan dari adanya pengaruh oligarki dan juga penguasa dalam bisnis sawit dan biodiesel. Pengaruh ini tergambar dalam struktur komite pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang menempatkan korporasi besar yang memiliki kekuatan untuk mengatur dan juga mengontrol penggunaan dan pengalokasian dana sawit sebesar Rp137,283 triliun yang dikelola BPDPKS sejak 2015-2021. Sementara Perwakilan petani yang menguasai 41% kelapa sawit Indonesia, dalam struktur BPDPKS hampir tidak ikut dilibatkan.
Oleh karena itu, oligarki tersebut semakin tampak jelas pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan kepada korporasi besar dan petani swadaya, yang tidak adil. Bagaimana tidak? Petani bahkan tidak termasuk pada struktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan yang mengelola dan mengontrol BPDPKS ini hanyalah korporasi- korporasi besar yang sudah ditentukan pemerintah. Meskipun alasan pemerintah melakukan hal tersebut dikarenakan infrastruktur, namun sebenarnya alasan tersebut masih dapat disanggah. Faktanya, masih ada diantara korporasi tersebut yang belum memilki pabrik biodiesel.
Selain permasalahan
tersebut, oligarki juga terlihat pada sistem pajak ekspor yang semakin tinggi,
hal ini dinilai merugikan para petani dan justru tidak mempengaruhi pebisnis
biodiesel, semakin tinggi pajak ekspor hal tersebut malah menguntungkan bagi
mereka karena semakin tinggi harga sawit maka komponen biofuelnya juga semakin
tinggi. Selanjutnya persoalan sertifikasi yang dikeluarkan untuk produksi
biofuel dengan sawit ini dinilai akan merugikan rakyat dan juga negara. Hal ini
lantaran lahan-lahan akan habis dibabat untuk sawit dan juga produksi
biodiesel. Seharusnya, apabila sistem demokrasi tidak ada dicampuri unsur-unsur
oligarki, lahan negara seperti kawasan hutan lindung yang digunakan haruslah
juga meminta persetujuan dari rakyat itu sendiri.
Ketimpangan sosial dan ketidakadilan antara korporasi sawit yang telah ditunjuk pemerintah dan petani sawit biasa bukanlah persoalan yang bisa dianggap sepele. Dalam hukum pidana, seharusnya hal ini bisa dijerat tindak pidana ekonomi, termasuk pada persoalan korupsi, kolusi, dan perpajakan. Namun, hingga saat ini kasus oligarki sangat jarang tersaring oleh hukum pidana. Efektivitas dari suatu Sistem Peradilan Pidana bergantung terhadap banyak faktor yang mana salah satunya merupakan profesionalisme yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Apabila penegak hukum tidak professional maka akan berimplikasi pada banyak hal, salah satunya adalah berkurangnya dugaan tindak pidana yang dapat dideteksi atau meningkatnya hidden criminal, kemudian hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya high profile crime, hingga munculnya mafia peradilan. Keberadaan oligarki atau kelompok yang menguasai sektor kelapa sawit dan pengelolaan biodiesel ini harus segera ditangani secara hukum. Tindakan yang telah dilakukan sangat merugikan petani kecil, ini baru terkait permasalahan oligarki dalam hal kelapa sawit dan pengelolaan biodiesel, belum lagi dengan oligarki dalam sistem politik, ekonomi lainnya dan sebagainya, yang pasti memilik dampak dan pengaruh yang lebih besar. Oleh karena itu, seharusnya hukum pidana terlibat dalam hal menindaklanjuti permasalahan oligarki ini. Melalui sistem peradilan pidana yang dimilikinya untuk menangani hidden crime dari kejahatan oligarki.
Apabila tidak ditangani
secara serius, oligarki ini dapat terus tumbuh dan berkembang dengan merusak
sistem demokrasi yang sudah tercipta di Indonesia. Bayangkan saja data Komisi
Perlindunan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa 60% koruptor merupakan politisi.
Para pelaku oligarki menginginkan kemudahan dalam akses bisnisnya dengan
membebankan pembiayaan pada negara, mengintervensi segala macam regulasi atau
perundang-undangan yang dapat menguntungkannya, bahkan ironisnya pelaku
oligarki dapat memerintahkan penguasa atau pemerintah untuk melakukan apapun
demi kepentingan kelompoknya maupun ia secara pribadi. Para pelaku oligarki
mengabaikan kepentingan nasional dan juga masyarakat kecil lainnya, yang mana
dalam hal ini para petani sawit.
Predator seperti pelaku oligarki ini harus diberikan sanksi pidana. Meskipun perbuatannya tidak berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan seperti membunuh, menganiaya atau lainnya, namun kejahatan ini termasuk pada ranah tindak pidana ekonomi dan merugikan bahkan menindas rakyat biasa. Komponen-komponen dari sistem peradilan pidana harus bergerak untuk menyelidiki dan membawa persoalan ini ke muka hukum untuk menegakkan keadilan dan membuktikan kepada masyarakat bahwa negara Indonesia merupakan negara dengan mementingkan kepentingan rakyat menjadi hal yang utama.
Sehingga untuk melawan oligarki yang masih menempel pada pemerintahan kita adalah dengan menerapkan payung hukum yang jelas, yaitu dengan menciptakan Undang-Undang yang dapat membatasi ruang gerak para segelintir orang yang mencoba menguasai sektor ekonomi melalui sawit dan biodiesel. Kemudian sistem peradilan pidana Indonesia juga sebaiknya dapat menambahkan atau melengkapi komponen dengan menciptakan sebuah lembaga khusus untuk memantau para perilaku oligarki, yang mana lembaga ini menjadi alat kontrol agar segala macam perbuatan pelaku tidak melewati batas-batas toleransi yang telah ditetapkan sebuah hukum itu sendiri.

0 Komentar