Ad Code

GELOMBANG PENOLAKAN TRANSMIGRASI KE KALIMANTAN BARAT : Suara dari Tanah Borneo

GELOMBANG PENOLAKAN TRANSMIGRASI KE KALIMANTAN BARAT : Suara dari Tanah Borneo 


Ditulis oleh: Piska Mutiara
Pada pertengahan tahun 2025, Kalimantan Barat menjadi sorotan nasional karena gelombang penolakan terhadap program transmigrasi yang direncanakan oleh pemerintah pusat. Penolakan ini tidak hanya datang dari masyarakat adat, tetapi juga dari kalangan mahasiswa, organisasi pemuda, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah daerah. Reaksi keras ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang dinilai tidak adil, tidak transparan, dan berpotensi mengganggu struktur sosial serta budaya lokal yang telah lama mengakar.

Program transmigrasi sendiri merupakan kebijakan lama yang bertujuan memindahkan penduduk dari daerah padat ke wilayah yang dianggap masih jarang penduduknya, dengan harapan tercipta pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Namun, dalam konteks Kalimantan Barat saat ini, program tersebut dianggap tidak lagi relevan dan justru menimbulkan keresahan. Masyarakat lokal, terutama komunitas adat Dayak, merasa kebijakan ini akan memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah ada. Transmigran datang dengan berbagai fasilitas dari negara: rumah, lahan bersertifikat, pelatihan kerja, dan bantuan lainnya. Sementara itu, warga lokal masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, tidak memiliki lahan, kesulitan mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan listrik.

Tokoh-tokoh lokal menyuarakan ketidaksetujuan mereka secara terbuka. Salah satunya adalah Noven Honarius, tokoh muda Dayak Sintang, yang menyoroti fakta bahwa jutaan masyarakat adat belum memiliki hak legal atas tanah leluhur mereka, sementara pemerintah malah memfasilitasi pendatang dengan lahan bersertifikat. Hal ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang nyata. Sementara itu, Endro Ronianus dari PMKRI Kalbar menilai pemerintah belum menyelesaikan persoalan dasar seperti kemiskinan dan infrastruktur yang rusak. Menurutnya, mendatangkan transmigran ke Kalbar justru berpotensi memperbesar masalah sosial dan memunculkan kecemburuan sosial yang bisa berujung pada konflik horizontal.

Penolakan terhadap program ini juga ditunjukkan melalui aksi massa. Pada 21 Juli 2025, ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Kalbar (AKBM) melakukan demonstrasi di depan Gedung DPRD Kalbar. Mereka membawa berbagai spanduk dan menyuarakan keresahan bahwa program transmigrasi ini dilakukan secara diam-diam tanpa dialog publik. Mereka juga menemukan bukti dokumen resmi yang menunjukkan bahwa peta lokasi transmigrasi telah disusun, yang bertentangan dengan klaim bahwa rencana tersebut belum final. Dalam orasinya, para demonstran menyampaikan bahwa mereka tidak anti pembangunan, namun menolak keras cara pemerintah menjalankan program ini yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal.

Pemerintah daerah pun tidak tinggal diam. Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, secara tegas menolak program transmigrasi tersebut. Ia mengungkapkan bahwa masih banyak masyarakat Kalbar yang belum memiliki tanah atau pekerjaan layak, sehingga seharusnya program pembangunan difokuskan untuk memberdayakan mereka terlebih dahulu. Krisantus bahkan mengusulkan agar dana transmigrasi dialihkan menjadi program relokasi atau translokalisasi yang diperuntukkan bagi warga lokal yang masih membutuhkan lahan dan fasilitas dasar. Ia juga mengklarifikasi bahwa dukungan yang disebut-sebut datang dari Kalbar terhadap program ini merupakan informasi yang keliru dan menyesatkan.

Penolakan juga datang dari berbagai organisasi dan komunitas adat. Aliansi Dayak Setanah Borneo menganggap transmigrasi sebagai bentuk kolonisasi modern yang mengancam eksistensi masyarakat adat dan lingkungan hidup. Organisasi Mangkok Merah menyuarakan pentingnya pembangunan desa terpencil, penyelesaian konflik agraria, serta pemenuhan hak-hak masyarakat adat daripada mendatangkan penduduk baru dari luar daerah. Aktivis Bala Adat Dayak menyatakan bahwa transmigrasi bukanlah solusi, melainkan ancaman terhadap kelangsungan hidup komunitas adat. Mereka mendorong adanya pembangunan yang berbasis pada kearifan lokal dan pendekatan partisipatif, bukan kebijakan sepihak dari atas ke bawah.

Bila pemerintah tetap memaksakan program ini, dikhawatirkan akan muncul berbagai dampak negatif. Potensi konflik sosial antar kelompok bisa meningkat, mengingat kecemburuan sosial yang muncul akibat ketimpangan perlakuan. Ketegangan antar masyarakat lokal dan transmigran juga berisiko terjadi apabila program ini tidak dijalankan secara hati-hati dan adil. Selain itu, masuknya populasi baru dapat menimbulkan tekanan terhadap lingkungan, termasuk alih fungsi hutan dan kerusakan ekosistem yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat.

Gelombang penolakan transmigrasi ke Kalimantan Barat adalah sinyal kuat bagi pemerintah pusat bahwa kebijakan pembangunan harus dilakukan secara partisipatif dan sensitif terhadap konteks sosial-budaya setempat. Masyarakat Kalbar telah bersuara dengan jelas: mereka tidak menolak pembangunan, tetapi mereka menolak ketidakadilan dan kebijakan yang mengabaikan keberadaan dan hak mereka sebagai penduduk asli. Kini saatnya pemerintah mendengar suara dari tanah Borneo, dan merumuskan kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat lokal, bukan hanya demi angka statistik dan agenda nasional semata.

Sebagai kesimpulan hukum, Secara keseluruhan, penolakan terhadap transmigrasi ke Kalimantan Barat pada Juli 2025 sangat kuat, berdasarkan tuntutan akan keadilan sosial, pembangunan lokal, dan perlindungan hak masyarakat adat. penolakan masyarakat terhadap transmigrasi ke Kalimantan Barat memiliki dasar kuat dari aspek legal bila mengacu pada:

•Ketentuan UU 15/1997 dan perubahan melalui UU 29/2009, yang mengharuskan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, keadilan dalam akses lahan, dan pelibatan publik;

•Ketentuan PP No. 19/2024 yang mengharuskan transparansi, pelibatan masyarakat lokal, dan pertimbangan lingkungan;

•Ketentuan teknis Peraturan Menteri Transmigrasi No. 3 Tahun 2025 yang mengatur tata cara investasi dan penggunaan tanah di kawasan transmigrasi.

Dengan demikian, setiap pelaksanaan program transmigrasi yang menyingkirkan atau tidak melibatkan masyarakat lokal secara memadai dapat dianggap bertentangan dengan regulasi yang berlaku di Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu