OLEH: NAILA FATHIA SALSABILA
“Tradisi pengurungan hancur-lebur, tetapi tradisi budak rumah tangga berjalan terus. Pekerjaan memasak, mencuci, menjahit pakaian yang robek, memelihara anak, dan lain sebagainya masihlah menjadi tanggungan perempuan.” —Ir. Soekarno (SARINAH, 1947)
Setiap hari, jutaan perempuan bangun lebih pagi untuk mengurus rumah, memasak, mencuci, dan menjaga anak, semua dilakukan tanpa jam kerja, tanpa cuti, dan tanpa jaminan serta perlindungan hukum yang pasti. Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah mereka yang bekerja dengan spesifikasi khusus mengurus rumah tangga maupun anggota keluarga di dalamnya yang masuk dalam kategori kerja perawatan (care-work). PRT diketahui merupakan salah satu pekerjaan tertua di dunia, keberadaannya sendiri berakar dari sejarah perbudakan dan perdagangan manusia di abad 19 serta era kolonialisme (Komnas Perempuan, 2024).
Dalam perkembangannya, PRT menjadi kelompok pekerja yang rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan ketidakadilan domestik, walaupun perannya sangat krusial dalam menunjang kehidupan rumah tangga di Indonesia, pada kenyataannya menunjukkan bahwa mereka masih belum memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Hal ini tercermin dari belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), kekosongan hukum ini mengakibatkan posisi PRT berada dalam zona abu-abu antara pekerja dan anggota keluarga.
Berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO) pada tahun 2015, terdapat 4 juta warga Indonesia bekerja sebagai PRT (Komnas HAM, 2022). Mereka yang sebagian besar adalah perempuan, bekerja dalam ruang domestik yang sering kali dianggap “ranah privat”, padahal realitanya merupakan relasi kerja yang timpang. Adapun data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2021 mencatat, terdapat 150.000 PRT yang memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan, itu pun didominasi oleh pekerja migran sebanyak 147.500 pekerja, hal ini menunjukkan bahwa mayoritas PRT di Indonesia bekerja tanpa perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan.
ILO dalam The Domestic Workers Convention, 2011 (No. 189) secara tegas menyatakan bahwa pekerja rumah tangga harus diakui sebagai pekerja formal dengan hak yang setara dengan sektor pekerjaan lainnya. Fakta bahwa Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut, serta RUU PPRT yang hingga kini belum juga disahkan, meskipun telah lebih dari dua dekade diperjuangkan, mencerminkan ketidakseriusan negara dalam memberikan perlindungan menyeluruh yang adil dan setara bagi kelompok pekerja tersebut.
Situasi ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang telah mengakar dalam struktur sosial di Indonesia. Pekerjaan rumah tangga masih dipandang sebagai pekerjaan perempuan, pekerjaan “alami” yang tidak perlu dibayar mahal. Pandangan ini memperkuat stigma bahwa PRT bukanlah pekerja formal, melainkan bagian dari keluarga yang cukup diberi makan dan tempat tinggal. Ini adalah bentuk nyata ketimpangan gender yang dilembagakan oleh sistem hukum dengan tidak melindungi dan mengakui PRT sebagai subjeknya.
Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) sebagai strategi nasional dan internasional dalam menciptakan kesetaraan dan keadilan gender, sejatinya menuntut negara untuk memastikan bahwa setiap kebijakan, termasuk kebijakan ketenagakerjaan di lingkungan rumah tangga, perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap perempuan. Dalam hal ini, pengesahan RUU PPRT merupakan bagian dari implementasi nyata pengarusutamaan gender, karena menyasar langsung pada ketimpangan yang dialami perempuan di sektor domestik.
RUU PPRT bukan sekadar kebutuhan hukum, melainkan bentuk konkret dari pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja yang layak untuk dilindungi dan dihargai eksistensinya, dengan menjadikan pekerjaan tersebut sebagai bagian dari pekerjaan formal. Sayangnya, hingga kini belum ada kemauan yang cukup kuat dari lembaga legislatif maupun eksekutif untuk mengesahkan RUU PPRT. Penundaan demi penundaan ini bukan hanya bentuk kelalaian normatif, tetapi juga bentuk pengabaian terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak pekerja perempuan dalam rumah tangga.
Dari ini, pengesahan RUU PPRT harus dipandang sebagai langkah penting dalam membangun sistem hukum yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi, sekaligus menjadi bentuk nyata komitmen negara terhadap pemenuhan prinsip kesetaraan dan keadilan dengan mewujudkan pengarusutamaan gender di Indonesia.
0 Komentar