Oleh: Fathur Rahman Nur Khahfi
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep keadilan restoratif atau restorative justice mulai banyak diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Pendekatan ini hadir sebagai alternatif dari sistem peradilan retributif yang berfokus pada penghukuman pelaku. Alih-alih memenjarakan pelaku, keadilan restoratif lebih menekankan pada dialog, pemulihan, dan kesepakatan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Tujuannya bukan untuk membalas kejahatan, melainkan untuk membangun kembali hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana.
Secara konsep, keadilan restoratif memang tampak lebih manusiawi. Ia membuka ruang dialog dan memungkinkan penyelesaian masalah secara damai, terutama dalam kasus-kasus ringan atau yang melibatkan anak di bawah umur. Dalam beberapa situasi, metode ini bahkan dapat mencegah overcrowding di lembaga pemasyarakatan yang sudah terlalu padat. Namun, di balik semua kelebihannya, penerapan keadilan restoratif juga menyimpan sejumlah persoalan yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Salah satu masalah paling krusial adalah menyempitnya makna keadilan menjadi sekadar "kesepakatan antar pihak". Padahal, dalam banyak kasus, korban berada dalam posisi yang lebih lemah secara ekonomi, sosial, atau psikologis. Mereka bisa saja merasa terpaksa menerima perdamaian karena tekanan dari pelaku, keluarga, atau bahkan aparat penegak hukum. Dalam situasi seperti ini, "perdamaian" yang dicapai bukanlah hasil dari kehendak bebas, melainkan bentuk kompromi yang merugikan korban demi efisiensi hukum.
Selain itu, jika tidak diawasi dengan baik, keadilan restoratif bisa menjadi celah untuk menciptakan ketidakadilan baru. Misalnya, pelaku yang berasal dari kalangan berpengaruh atau punya kekuatan finansial lebih mudah "menyelesaikan" kasus lewat jalur damai. Sebaliknya, pelaku dari kelompok masyarakat kecil yang tak punya akses atau kuasa tetap harus menjalani proses hukum hingga akhir. Ini tentu menimbulkan ketimpangan dan kesan bahwa hukum bisa dinegosiasikan, bukan ditegakkan secara objektif.
Dampak lainnya adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Ketika masyarakat melihat bahwa pelaku kejahatan bisa "lepas" hanya dengan meminta maaf dan membayar ganti rugi, tanpa menjalani proses hukum yang setimpal, rasa keadilan publik bisa terkikis. Korban pun tak jarang merasa kecewa karena merasa suara dan luka mereka diabaikan hanya demi menjaga "kerukunan sosial".
Jika diterapkan secara tidak hati-hati, keadilan restoratif berpotensi mengaburkan makna keadilan itu sendiri. Sebab, keadilan bukan sekadar tentang mempertemukan dua pihak dan membuat mereka berdamai. Keadilan sejati adalah memastikan bahwa setiap pihak mendapat haknya secara adil — termasuk korban, yang kerap menjadi pihak paling rentan dalam kasus pidana.
Oleh karena itu, keadilan restoratif harus dijalankan dengan prinsip keadilan substansial sebagai dasar utama. Artinya, proses mediasi dan kesepakatan damai harus benar-benar mempertimbangkan posisi, kebutuhan, dan kepentingan korban. Harus ada jaminan bahwa korban tidak dipaksa untuk memaafkan atau menerima penyelesaian yang tidak setara. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat agar keadilan restoratif tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Penutup
Keadilan restoratif adalah langkah maju dalam pembaruan hukum pidana Indonesia, namun harus dijalankan secara hati-hati dan berkeadilan. Ketika diterapkan dengan benar, ia bisa menjadi jalan pemulihan yang menyembuhkan semua pihak. Tetapi jika disalahgunakan, ia bisa berubah menjadi alat kompromi yang membungkam korban dan melanggengkan ketimpangan hukum. Pada akhirnya, tujuan dari semua sistem hukum adalah mewujudkan keadilan — bukan hanya sekadar damai, tetapi juga bermartabat dan setara.
0 Komentar