Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) sedang menjadi sorotan. Tak hanya karena menyangkut masa depan ibu kota baru negara, namun juga karena menggugah diskursus mengenai Hak Guna Usaha (HGU) dan perlindungan masyarakat adat.
Di antara suara-suara kritis yang mengemuka, hadir pula pandangan dari akademisi daerah, termasuk Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Bapak Salfius Seko, S.H., M.H., yang turut memberikan keterangan ahli dalam sidang tersebut. Ia hadir bersama rekan-rekan pemohon lainnya yang berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari tokoh masyarakat adat, pegiat hukum agraria, hingga aktivis lingkungan.
Ahli pemohon, Salfius Seko menyebut jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) hingga 180 tahun akan menghancurkan seluruh sendi-sendi dan pilar dasar yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat adat secara umum dan masyarakat adat Dayak secara khusus.
“Karena dengan lamanya investasi, maka kepentingan bersama akan direduksi oleh kepentingan individual. Pelanggaran terhadap kehidupan bersama ini akan membawa kegoncangan terhadap keseimbangan dunia makrokosmos dan mikrokosmos. Dengan demikian, maka fondasi dasar masyarakat adat akan roboh,” ucapnya.
UU IKN memberi kewenangan luas kepada otoritas IKN dalam pengelolaan tanah, termasuk pemberian HGU dengan jangka waktu yang sangat panjang, yaitu hingga 190 tahun. Ini menimbulkan pertanyaan serius:
Bagaimana mekanisme perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat adat yang telah mendiami wilayah tersebut turun-temurun?
Apakah pemberian HGU jangka panjang tidak melanggar prinsip keadilan agraria dan hak atas ruang hidup masyarakat lokal?
Apakah negara telah melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam proses legislasi UU IKN?
Dalam keterangannya sebagai ahli di hadapan Majelis Hakim MK, Salfius Seko, S.H., M.H., Dosen FH Universitas Tanjungpura, menyoroti sejumlah aspek penting dari UU IKN:
1. Pelanggaran Prinsip Konstitusional
Ia menegaskan bahwa Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya. Jika UU IKN tidak secara tegas menjamin perlindungan hak ulayat, maka itu dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi.
2. HGU yang Tak Wajar
Pemberian HGU hingga 190 tahun disebut sebagai “jangka waktu yang tidak rasional dalam perspektif keadilan agraria”. Ini berpotensi memarginalkan komunitas adat secara turun-temurun dan memicu konflik horizontal.
3. Asas Keadilan Sosial
Salfius juga menekankan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan masyarakat adat yang justru telah menjaga ekosistem wilayah tersebut selama ratusan tahun.
Permohonan uji materi ini tidak hanya datang dari akademisi. Sejumlah tokoh masyarakat adat dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, serta aktivis lingkungan dan hukum turut menjadi pemohon. Mereka membawa pengalaman langsung atas dinamika lapangan: Kehilangan akses terhadap hutan adat, Ketakutan akan penggusuran paksa dan Ketiadaan peta tanah adat yang diakui secara hukum.
Sidang ini menjadi ajang bagi mereka untuk menyuarakan kekhawatiran yang selama ini kurang terangkat dalam wacana nasional.
Hasil dari sidang MK atas UU IKN akan menentukan arah dan legitimasi pembangunan ibu kota baru. Bila permohonan dikabulkan, pemerintah perlu: Merevisi pengaturan soal HGU, Menyusun mekanisme hukum perlindungan tanah adat dan Melibatkan masyarakat adat dalam proses perencanaan.
Namun bila ditolak, potensi konflik agraria, sengketa tanah, dan marginalisasi komunitas adat bisa meningkat di masa depan.
Pembangunan memang harus berjalan, tapi tidak bisa dilakukan dengan mengorbankan hak-hak konstitusional masyarakat adat. Kehadiran akademisi seperti Salfius Seko, S.H., M.H., bersama para pemohon lainnya, menjadi simbol bahwa masih ada suara kritis yang berpihak pada keadilan substantif.
Sidang ini bukan hanya tentang legalitas UU, tetapi juga tentang nilai keadilan, partisipasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Terus ikuti perkembangan isu ini di blog kami untuk mendapatkan analisis terbaru, perspektif akademik, dan suara dari lapangan.
Salam keadilan,
0 Komentar