PEMILU PILKADA
SERENTAK 2024
Pengertian Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas PP Nomor 6 Tahun 2005 adalah : ”sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di
wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun
1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”.
Pemilihan Kepala Daerah merupakan
rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang
mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur maupun
Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Dalam kehidupan politik di
daerah, pilkada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya equivalen dengan
pemilihan anggota DPRD. Equivalen tersebut ditunjukan dengan kedudukan yang
sejajar antara kepala daerah dan DPRD.
Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah) merupakan sebuah pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh
para penduduk daerah administratif setempat yang telah memenuhi persyaratan.
Sebelum tahun 2005,
kepala daerah dan wakil kepala daerah ini dipilih oleh para Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Sejak telah berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang
melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau bisa disingkat
sebagai Pilkada. Pilkada pertama kali dilaksanakan di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur pada Juni 2005.
Pilkada ini pertama
kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak sudah berlakunya UU No. 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada ini dimasukkan dalam
rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama sebagai Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada.
Pada tahun 2011,
terbit undang-undang baru mengenai sebuah penyelenggaran pemilihan umum yaitu
UU No. 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang sudah digunakan
yaitu Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Di Indonesia, saat
ini pemilihan kepala daerah dapat dilakukan secara langsung oleh penduduk
daerah administratif setempat yang sudah memenuhi syarat. Pemilihan kepala
daerah juga dapat dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup sebagai berikut :
Ø Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi.
Ø Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten.
Ø Wali kota dan wakil wali kota untuk kota.
Pilkada
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan
oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan (Panwaslih).
UU yang mengatur
tentang Dasar Hukum Penyelenggaraan PILKADA adalah sebagai berikut :
Ø UU No. 32 tentang Pemerintah Daerah.
Ø UU No. 32 tentang Penjelasan Pemerintahan Daerah.
Ø Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan
pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ø PP Pengganti UU No. 3 tentang PERPU NO 3 TAHUN
2005.
Peserta pilkada
adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik, hal ini didasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004. Ketentuan ini kemudian
sudah diubah oleh UU No. 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa para peserta
pilkada juga bisa berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti sebuah keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa pasal menyangkut para peserta Pilkada
dalam UU No. 32 Tahun 2004.
Tujuan pilkada
yaitu untuk pilih wakil rakyat dan wakil area untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis. Selain itu, pilkada termasuk memiliki tujuan untuk berpengaruh dan
memperoleh sumbangan rakyat fungsi mewujudkan tujuan nasional yang tercantum
pada Undang-Undang Dasar 1945.
Suatu parameter
untuk mengamati terwujudnya suatu demokrasi apabila :
Ø Menggunakan mekanisme pemilihan umum yang teratur
Ø Memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan
Ø Mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka
Ø Akuntabilitas publik.
Melalui UU No. 32
Tahun 2004, mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang dianut UU No. 22
Tahun 1999 diubah secara drastis menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Meskipun pilkada melalui DPRD di bawah UU No. 22 Tahun 1999 sudah lebih maju
dari era Soeharto, karena tidak ada lagi istilah “calon jadi”, “calon
penggembira”, dan drop-dropan dari atas, namun tampaknya dianggap belum
merefleksikan tegaknya kedaulatan rakyat, sehingga mulai 2005 diselenggarakan
pilkada secara langsung oleh rakyat.
Sepuluh tahun kemudian,
yakni pada 2015, diselenggarakan pula pilkada langsung secara serentak yang
berlangsung di 269 wilayah yang mencakup sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan
36 kota di Indonesia. Pilkada serentak 2015 adalah pilkada serentak
“transisional” tahap pertama dari tiga tahap pilkada serentak “transisional”
sebelum pilkada serentak secara nasional yang direncanakan berlangsung pada
2024. Dua tahap pilkada serentak “transisional” berikutnya adalah Pilkada
serentak 2017 yang berlangsung di 101 wilayah, yakni tujuh propinsi, 76
kabupaten, dan 18 kota; dan Pilkada serentak 2018 yang diselenggarakan di 171
wilayah yang mencakup 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.
Pertanyaannya, mengapa pilkada “harus” secara
langsung, dan juga mengapa pula pilkada langsung “harus” pula serentak? Apa
saja insentif yang diperoleh publik, baik dari pilkada langsung maupun pilkada
langsung yang bersifat serentak?
Terdapat sejumlah
argumen mengapa pilkada harus dilakukan secara langsung oleh rakyat. Pertama, pilkada secara langsung
diperlukan untuk memutus mata-rantai oligarki pimpinan partai dalam menentukan
pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Selain itu,
pemilihan oleh segelintir anggota DPRD pun cenderung oligarkis karena
berpotensi sekadar memperjuangkan kepentingan para elite politik belaka. Kedua, pilkada langsung diharapkan dapat
meningkatkan kualitas kedaulatan dan partisipasi rakyat karena secara langsung
rakyat dapat menentukan dan memilih pasangan calon yang dianggap terbaik dalam
memperjuangan kepentingan mereka. Ketiga,
pilkada langsung bagaimana pun mewadahi proses seleksi kepemimpinan secara
bottom-up, dan sebaliknya meminimalkan lahirnya kepemimpinan yang didrop dari
atas atau bersifat top-down. Keempat,
pilkada langsung diharapkan dapat meminimalkan politik uang yang umumnya
terjadi secara transaksional ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD. Karena
diasumsikan relatif bebas dari politik uang, pimpinan daerah produk pilkada
langsung diharapkan dapat melembagakan tata kelola pemerintahan yang baik, dan
menegakkan pemerintah daerah yang bersih. Kelima,
pilkada langsung diharapkan meningkatkan kualitas legitimasi politik eksekutif
daerah, sehingga dapat mendorong stabilisasi politik dan efektifitas
pemerintahan lokal.
Sementara itu
pilkada langsung yang diselenggarakan secara serentak sejak 2015 dimaksudkan
untuk meminimalkan cost, baik sosial, politik, maupun ekonomi, yang ditimbulkan
oleh demokrasi pilkada. Hampir setiap pekan berlangsung pilkada di daerah atau
wilayah yang berbeda-beda, baik di provinsi, maupun kabupaten dan kota.
Dinamika politik pilkada, betapa pun itu bersifat lokal, potensial bergejolak
dan dipicu banyak faktor. Dalam rangka meminimalkan potensi konflik sosial dan
gejolak politik tersebut maka pemerintah dan DPR bersepakat menyelenggarakan
pilkada langsung secara serentak secara bertahap sebelum akhirnya pilkada
serentak secara nasional yang diharapkan bisa terselenggara pada 2024
mendatang.
Di samping sebagai upaya meminimalkan cost sosial, politik, dan ekonomi, pilkada langsung secara serentak diharapkan lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Walaupun pilkada berlangsung di daerah, segenap dinamika yang menyertainya menyita perhatian dan energi, sehingga melalui pilkada serentak, segenap dinamika yang menyertai pilkada di satuwaktukan agar perhatian dan energi bangsa selebihnya tercurah untuk pembangunan. Efisiensi yang sama diharapkan dapat dilakukan dalam pembiayaan pilkada. Sudah menjadi rahasia umum, pada saat menjelang pilkada, apalagi jika petahana maju untuk bersaing lagi dalam periode berikutnya, APBD tersedot untuk segenap keperluan atas nama keberhasilan pilkada. Melalui pilkada serentak yang sebagian pembiayaannya menjadi beban APBN, diharapkan terjadi efisiensi anggaran terkait pengeluaran untuk pesta demokrasi lokal tersebut.
Kredibilitas KPU
Pusat dan KPU di daerah jelas sangat diuji. Disamping harus memperkuat
netralitasnya dari pengaruh partai-partai politik pengusung kandidat kepala
daerah, secara teknis, KPU Pusat dan KPU di daerah juga harus menyiapkan berbagai
perangkat Pilkada yang kompleks, mulai dari peraturan teknis hingga penyiapan
logistik yang meliputi seluruh tahapan Pilkada. Sudah pasti bahwa Pilkada
serentak ini jauh lebih rumit dari pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
karena Pilkada serentak melibatkan 269 daerah. Belum lagi menghadapi fakta
bahwa tiap-tiap daerah yang menyelenggarakan Pilkada itu masing-masing
bervariasi, setidaknya variasi dalam jumlah kandidat yang bersaing dan
partai/koalisi partai yang mengusungnya.
Selanjutnya, dari sisi
demokratisasi, meskipun secara teknis Pilkada serentak ini menjadi penanda
majunya demokrasi elektoral di Indonesia, namun dari segi substansi, kualitas
demokrasi tentu masih perlu dipertanyakan. Sebagai praktik terbaru dalam
demokrasi lokal di Indonesia, pelaksanaan Pilkada serentak sudah seharusnya
membuka peluang untuk meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal, yang
pada akhirnya menyumbang kualitas demokrasi Indonesia secara keseluruhan. Jika
Pilkada dapat berlangsung demokratis, jujur dan adil sebagai hasil dari kinerja
penyelenggaranya yang independen dan profesional, maka ini akan menyumbang
kontribusi terhadap demokratisasi di provinsi, kabupaten/kota yang bersangkutan
(yang menyelenggarakan Pilkada). Sebaliknya, jika pelaksanaan Pilkada penuh
dengan kecurangan, sengketa, dan memunculkan bibit-bibit konflik sosial, maka
kualitas demokrasinya berarti belum mencapai “ruh” demokrasi yang substansial,
hanya berupa demokrasi prosedural belaka.
Dalam beberapa
waktu dekat ini salah satu aturan yang menjadi sorotan adalah pilkada dan
pemilu digelar serentak pada 2024. Pada aturan yang sudah ada, Indonesia akan
meniadakan pilkada serentak pada 2022 dan 2023. Dalam draf rancangan revisi UU
Pemilu, regulasi itu rencananya akan menormalisasi jadwal pemilihan kepala
daerah untuk tetap digelar pada 2022 dan 2023. Hal ini tercantum dalam pasal
731, khususnya ayat 2 dan 3. Menyikapi rencana itu, Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) menolak revisi UU Pemilu. Pemerintah berkukuh untuk melaksanakan
UU Pemilu dan UU Pilkada yang sudah ada.
Direktur Jenderal
Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan UU Pemilu belum
perlu direvisi lantaran mengatur rangkaian pemilihan umum di Indonesia hingga
2024. Peneliti kepemiluan dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif,
Ikhsan Maulana menilai pemilu dan pilkada yang digelar serentak pada 2024,
bakal menimbulkan sejumlah persoalan. Terutama mengenai beban berat
penyelenggara pemilihan KPU, Bawaslu, hingga level Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS).
Kendati 'serentak'
yang dimaksud pada 2024 tidaklah benar-benar serentak. Pemilihan presiden dan
legislastif akan berlangsung pada April sebagaimana saat 2019 lalu, sedangkan
pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan pada November sesuai UU Pilkada tahun
2016. Beban penyelenggara pemilu akan sangat berat lantaran menjalankan enam
jenis pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota,
kepala daerah, dan DPD dalam satu tahun. Hal lain yang akan menjadi persoalan
adalah ada himpitan penyelenggaraan antara pemilu dengan pilkada dan pastinya
ini membebankan penyelenggara, apalagi penyelenggara di daerah. Tumpang tindih
kewenangan akan semakin terjadi dan bahkan bisa berdampak pada penyelenggaraan
pemilu dan pilkada.
Perkara lainnya
ialah saat pilkada dilaksanakan pada 2024 mendatang, akan banyak jabatan kepala
daerah yang diisi oleh pelaksana tugas (Plt) karena masa jabatannya habis di
2022 dan 2023. Setidaknya sekitar 271 jabatan kepala daerah yang akan diisi
oleh Plt yang ditunjuk oleh pemerintah. Dari sisi itu, akan ada inkonsistensi
yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Hal ini seajalan dengan bagaimana
pemerintah dan DPR menolak untuk menunda Pilkada 2020 di tengah pandemi, karena
alasan banyak jabatan kepala daerah yang akan diisi oleh Plt. Hal tersebut
dinilai tidak efektif untuk penanganan COVID-19.
Tetapi untuk 2022 dan 2023, pemerintah dan DPR justru mengiyakan akan ada Plt yang cukup banyak di daerah. Khawatirnya program kerja daerah tidak akan bisa berjalan maksimal meskipun Plt memiliki kewenangan dalam penganggaran atau eksekutorial. Selain itu sangat disayangkan narasi didalam revisi UU Pemilu hanya terkesan mengenai jadwal pilkada saja, yang mana rentan menjadi isu politis. Padahal yang kita ketahui saat ini banyak isu yang lebih substansial yang mesti dibahas di dalam revisi UU Pemilu untuk keberlangsungan demokrasi. Misalnya soal ambang batas parlemen yang perlu diturunkan, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang sangat tinggi, hingga ada beberapa Putusan MK yang harus ditindaklanjuti di dalam revisi UU Pemilu dan belum sama sekali diperhatikan oleh pembentuk UU.
Adanya pilkada
serentak 2024 ini mengakibatkan terdapat beberapa pihak yang diuntungkan dan
tidak sedikit pula yang dirugikan. Beberapa nama kepala daerah yang masa
jabatannya akan berakhir pada 2022 dan 2023 akan terdampak pelaksanaan pemilu
dan pilkada serentak 2024. Sebut saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan,
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa,
hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Terlebih, nama-nama itu kerap
disebut berpeluang untuk menjadi calon presiden pada 2024 mendatang.
Peneliti politik
dan kepemiluan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri
Budiarti menyebut Anies yang paling dirugikan apabila ingin maju menjadi calon
presiden. Hal tersebut dikarenakan Anies memiliki waktu jeda yang cukup lama
untuk ke pemilu berikutnya ketimbang tiga nama lainnya. Masa jabatan Anies akan
berakhir pada 2022, sedangkan yang lainnya pada 2023. Artinya, Anies akan
“menganggur” selama dua tahun, sementara yang lain hanya setahun. Jeda yang
begitu jauh tanpa basis aktivitas politik yang jelas, apalagi Anies tak
berpartai, punya risiko besar bagi Anies untuk melekatkan dirinya kepada publik
dengan image positif dan untuk mempertahankan posisi kuat dalam dinamika
politik nasional.
Sehingga nama-nama
lain yang hanya memiliki jeda satu tahun akan lebih diuntungkan jika ingin
menjadi calon presiden. Mereka masih punya rekam jejak yang diingat oleh publik
karena masa jabatannya berakhir di saat yang dekat dengan dimulainya tahapan
Pilpres 2024. Dalam hal ini para kepala daerah yang menjabat sejak memenangkan
Pilkada 2020 adalah yang paling diuntungkan. Sebab mereka praktis hanya menjabat
dalam waktu singkat yaitu kurang lebih 3,5 tahun.
SUMBER :
(t.thn.). Diambil kembali dari
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/119308-T%2025202-Proses%20penyelesaian-Literatur.pdf
Prayudi, Budiman, A., &
Aryojati, A. (2017). DINAMIKA POLITIK PILKADA SERENTAK. Jakarta: Pusat
Penelitian Badan Keahlian DPR RI.
Simkada. (2020, Agustus 8). Mengenal
Lebih Jauh Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Dipetik Februari 22, 2021,
dari Simkada Aplikasi PILKADA 2020: https://www.simkada.net/blog/mengenal-lebih-jauh-pemilihan-kepala-daerah-di-indonesia/
1 Komentar
Terimakasih ilmunya Justitia Club.
BalasHapus